13 | Obsesi

34K 1.5K 21
                                    

WALAU sebenarnya dia terusik dan ingin sekali melirik, tapi Risa tidak mau melepaskan tatapan matanya dari Ralf yang kini bahkan sudah menoleh ke arah Alva dan dua orang wanita di seberang sana.

Ucapan Alva dan dua orang wanita yang tak dia kenal itu cukup keras hingga bisa terdengar dengan jelas di telinga. Alasan sama yang kini mengundang semua pasang mata untuk memperhatikan mereka. Termasuk, seniornya yang sepertinya lebih tertarik memandangi apa yang terjadi dengan teman seperjuangannya, daripada memperjelas arti tatapan matanya sebelumnya.

Risa mengatupkan mulutnya. Dia menoleh ke arah Alva yang kini diseret pergi dari sana oleh seorang wanita. Sosok yang Risa ketahui sebagai mantan kekasih terakhir Alva.

"Gue kaget," kata pertama yang keluar dari mulut Ralf setelah hening sekian lama membuat Risa kembali memandanginya, "selama ini gue pikir dia udah nggak deket sama cewek apalagi mainin cewek lagi. Gue kira dia udah tobat atau malah udah impoten, makanya dia mau berhenti main cewek kayak dulu. Tapi kayaknya, dia cuma masih patah hati aja sama mantan pacarnya yang katanya udah mau nikah itu."

Risa tersenyum miring. Alva jelas tidak akan mengalami patah hati, jika dia sendiri yang mengakhiri hubungannya dengan Jeanne. Risa tahu hal itu, karena saat mereka putus, dia tidak sengaja mendengar percakapannya.

Dan kalaupun pria itu sedang patah hati, tidak mungkin dia akan santai-santai saja saat menjalani hidupnya. Bahkan, telinganya tadi sempat mendengar jika Alva menolak seandainya Jeanne datang untuk mengajaknya balikan. Terlebih, setelah apa yang terjadi di antara mereka beberapa hari ini.

Jika Alva memang sedang patah hati. Dia tidak akan mau menyentuh Risa apalagi mengizinkan Risa masuk ke apartemennya untuk menginap. Alva bahkan sampai repot-repot membeli mesin cuci dan lingerie untuk dia kenakan seandainya dia datang menginap lagi.

Tanpa Risa sadari, Ralf sedang memperhatikan raut wajahnya. Binar cahaya di kedua bola mata Risa ketika perempuan itu tersenyum membuat pria itu sedikit bertanya-tanya.

"Kenapa? Kayaknya lo nggak percaya cowok kayak Alva bisa patah hati juga?" tanya Ralf kemudian.

Risa menatapnya, lalu menggeleng cepat. "Tipe cowok kayak dia gitu nggak ada cocok-cocoknya buat patah hati. Apalagi akhir-akhir ini hidup dia nggak ada mellow-mellow-nya. Mana mungkin dia patah hati kalau setiap harinya masih bisa haha-hihi sama kita berdua?"

Ralf pun akhirnya menyadari dari mana datangnya binar cahaya di kedua mata adik tingkatnya sebelum ini. Binar mata yang entah kenapa membuatnya yakin, jika Risa benar-benar terhibur dengan opininya tadi.

"Hm ... kalau dipikir-pikir lagi, lo bener juga. Apalagi waktu mereka baru putus dulu, Alva nggak kelihatan kayak orang yang kehilangan separuh nyawanya."

"Kayak zombie gitu?" Risa memiringkan wajahnya. "Kalau lo gimana? Apa lo bakal jadi kayak zombie berjalan waktu diputusin sama pacar sendiri?"

"Gue?" Ralf terkekeh pelan saat membayangkan Sienna memutus hubungan di antara mereka. Lalu dia terdiam cukup lama, memilah kata sebelum berkata dengan nada serius miliknya. "Kalau gue, pasti lebih parah lagi. Nggak cuma jadi zombie, gue paling udah gila dan manggil nama dia setiap malam, atau malah langsung bunuh diri."

Risa terkejut mendengar kata terakhir yang keluar dari mulut Ralf. "Lo serius, putus hubungan aja sampai mau bunuh diri segala?"

Ralf mengangkat bahunya. "Mungkin, belum pernah ngalamin juga, jangan sampai kejadian, sih, kalau bisa." Ralf mendesah kasar. "Gue sama dia pacaran dari masih bocah ingusan sampai mau bangkotan, bukannya nikahan malah udahan, sakitnya pasti nggak tertahan lagi, Sa."

Risa pun membayangkannya. Ketika dua orang yang sudah menjalin hubungan bertahun-tahun, sudah saling memahami dan mempercayai satu sama lain, lalu hubungan itu tiba-tiba saja harus berhenti di tengah jalan.

One Night Love (REPOST)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang