15 | Cara Penyampaian

25.8K 1.4K 17
                                    

ALVA langsung membuang muka begitu melihat Olivia tersenyum ramah sambil melambaikan tangan ke arahnya. Sedangkan Jeanne yang berada di samping Olivia langsung turut membuang pandang, enggan menatap Alva yang kini lebih memilih menatap wajah menyebalkan Ralf yang berada di sampingnya.

"Gue jadi penasaran, lo sama mereka tadi siang ngomongin soal apa?" tanya Ralf yang kini geleng-geleng kepala melihat sifat kekanakan di antara Alva dan Jeanne.

Dulu, saat pertama kali Alva dan Jeanne saling mengenal. Keduanya memang lebih sering bertengkar daripada menunjukkan adanya benih-benih cinta. Ajaibnya, kedua orang itu nyatanya tetap bisa jadian dan hubungan itu bertahan sampai sebulan.

Kurun waktu yang menurut Ralf lumayan lama, karena selama ini Alva hanya mengencani seorang gadis selama dua hari atau seminggu saja.

Alva mengerling. "Apa gue kelihatan kayak orang yang mau ngasih tahu lo? Jangan harap. Sampai lo sujud-sujud juga nggak akan gue kasih tahu," desisnya.

Ralf menggeleng pelan sambil mengangkat bahunya santai. "Kalau gitu gue mau balik aja, deh." Pria itu menoleh ke arah Risa. "Mau pulang bareng, nggak?" tawarnya ringan.

"Lo bawa motor?" tanya Alva kemudian dengan tatapan menyiratkan sebuah ancaman dan ketidaksetujuannya akan ide yang ditawarkan oleh Ralf.

Ralf mengangguk tanpa rasa berdosa. "Iya, emang kenapa?"

"Kalau lo bawa motor, mending Risa balik sama gue aja," jawab Alva cepat-cepat.

Risa menatapnya dengan ekspresi protes. "Gue nggak mau balik sama lo, gue mau balik sama Ralf aja."

"Nggak, lo balik sama gue!" Pria itu lagi-lagi melemparkan tatapan tajamnya pada Risa. "Lo kayaknya suka banget dimodusin sama dia, ya?"

"Hah? Modus? Modus apaan, sih, dia cuma mau nganterin gue balik doang, nggak lebih, dan nggak ada niat modusin gue sama sekali," sangkal Risa yang tak terima.

"Nggak ada niat buat modusin lo? Buktinya gimana? Coba lo bayangin, dia sama lo lagi boncengan naik motor, ugal-ugalan, terus dia ngerem mendadak. Apa yang bakal lo lakuin, kalau lo nggak nabrak punggung dia?"

Risa mengernyitkan dahinya. "Iya, kan, emang posisinya kayak gitu, mau gimana lagi coba? Gue pasti nabrak punggung dia, lah, masa iya gue nabrak tiang jalanan?"

"Itu namanya modus, Risa!" balas Alva jengkel.

"Di mana letak modusnya, sih? Cuma nabrak punggung dia aja, nggak ada acara ngapa-ngapain lagi, kenapa dibilang modus?"

Ralf hanya memamerkan cengiran andalannya melihat pertengkaran kecil di antara Alva dan Risa. Dua orang itu memang tidak pernah bertengkar sebelumnya. Walau Alva kerap menggoda ataupun mencari gara-gara dengan Risa, tapi Risa akan menanggapi semuanya dengan santai dan tidak pernah terjadi masalah apa-apa.

Namun, sepertinya ... memang ada yang telah berubah dari mereka berdua.

Ralf berdeham lumayan keras untuk menarik perhatian mereka. "Kalau gitu, gue balik duluan aja. Ris, lo pulang sama Alva aja."

"Eh, ta-tapi gue -"

"Walaupun gue nggak pernah ngebut sampai ugal-ugalan di jalan, tapi apa yang dia omongin emang ada benarnya." Ralf menggaruk tengkuknya yang tidak gatal sama sekali. "Kalau beneran terjadi, gue bakal ngerasa bersalah banget sama lo dan juga cewek gue tentunya. Jadi, lo balik aja sama Alva, aman, sentosa, selamat sampai tujuan."

Ralf tertawa sambil melangkah pergi dengan lambaian tangannya yang terlihat menyebalkan di mata Risa. Perempuan itu menatap Alva yang kini tersenyum puas setelah melihat kepergian Ralf dari sana.

"Gue nggak mau pulang sama lo, gue bisa pulang sendiri," desis Risa yang mulai berjalan pergi, tapi Alva sudah menarik tangannya dan membawa perempuan itu menuju parkiran mobil.

"Lo pulang sama gue."

"Gue bisa pulang sendiri, Alva!" bentak Risa sambil menyentakkan tangannya yang berada dalam pegangan tangan Alva, tapi tak terlepas karena Alva mengeratkan cengkeraman tangannya.

"Risa!" Alva balas membentak dengan tatapan tajam yang kini menghunjam ke arah pujaan hatinya. "Lo balik sama gue aja, ngerti?" tegasnya.

"Nggak! Gue mau pulang sendiri, jadi tolong, lepasin!" Risa kembali menyentakkan tangannya agar bisa melepaskan diri, tapi Alva tak membiarkan hal itu terjadi.

"No!"

Lama kelamaan Risa mulai kehabisan tenaga. Pemberontakannya mulai melemah dan menatap Alva dengan wajah memelas. "Please, gue bisa pulang sendiri. Lo nggak perlu repot-repot buat nganterin gue pulang lagi."

"Gue nggak ngerasa repot sama sekali. Lagipula, kemarin bahkan pagi ini, lo masih pulang dan pergi sama gue. Kenapa gue harus repot?"

Alva menarik Risa dan membawa perempuan itu kembali berjalan menuju mobilnya berada. Begitu sampai di sisi mobilnya, dia membuka pintu dan meminta Risa masuk ke dalam.

"Kalau gue emang repot karena nganter lo balik, pastinya gue sekarang bakal bawa lo pulang ke apartemen gue. Lebih praktis dan bisa bikin ranjang gue hangat buat malam ini."

Risa mendelik. "Bukannya malam ini lo mau bawa pacar lo ke sana?"

"Pacar?" Alva mengernyitkan dahi. "Pacar siapa?"

"Pacar lo, lah!"

"Hm?" Alva menutup pintu dan segera beralih untuk masuk ke mobil di bagian kemudi. "Jadi, dari tadi lo terus-terusan nolak gue, karena lo mikir gue main lagi sama Jeanne, gitu?" Alva kemudian tertawa setelah menutup pintu di sebelahnya. "Gue nggak balikan sama dia. Gue cuma ngomong biasa aja sama mereka, dan yang kita bahas bukan hubungan di masa lalu, tapi temennya."

"Temennya?" Risa mengernyitkan dahi. "Maksudnya, cewek yang sama mantan pacar lo itu?"

Alva mengerling. "Penasaran?" tanyanya dengan nada menggoda yang membuat Risa menatapnya waspada. "Kalau lo penasaran, gue bisa aja ngasih tahu lo, tapi dengan syarat, tentunya."

Risa langsung membuang mukanya ke luar jendela. "Syaratnya, tidur sama lo gitu?"

Alva memiringkan tubuhnya hingga benar-benar menghadap Risa. "Sepertinya lo mulai memahami apa yang ada di kepala gue, Sa?"

"Maksudnya apaan coba? Emang isi otak lo itu dari segi mananya yang nggak bisa dipahami? Gue yakin, tujuh puluh persen dari otak lo itu isinya cuma selangkangan doang. Iya, kan?"

"Hm ..., gue tarik lagi, ternyata lo sama sekali belum ngerti." Alva mengembuskan napas panjang. Dia mulai menyalakan mesin dan membawa mobilnya melaju di jalanan.

"Hah?! Ngerti apaan coba? Emang bener, kan? Buktinya, waktu lo pertama kali tidur sama gue, lo sampai nggak bisa berhenti dan nyaris bikin gue mati. Kedua, waktu lo ngajakin gue balik kemarin, lo minta dioral kayak gitu?" Risa bergidik ngeri kala mengingat apa yang telah ia alami kemarin malam bersama pria di sebelahnya ini.

"Habis itu, lo bisa jelasin nggak? Kenapa gue nggak ngapa-ngapain lo lagi, padahal lo semalaman tidur di sebelah gue?" Alva tersenyum penuh kemenangan setelah mengatakan satu bukti lain yang belum sempat dikatakan.

Jika memang isi otaknya hanya berisi selangkangan, jelas-jelas dia akan menghabisi Risa waktu itu. Kenyataannya, dia lebih memilih begadang dan membuatnya memiliki kantung hitam di bawah kelopak matanya.

Alva melirik Risa yang sedang mengerjapkan matanya berulang kali. "Kenapa, ya?" tanya perempuan itu pada dirinya sendiri.

Alva hanya mendesah kasar melihatnya. Dia juga yang salah, karena kadang, tanpa tersadar dia akan lepas kendali dan mulai membayangkan sesuatu yang sangat ia inginkan akan terjadi. Bahkan tanpa dia sadari, kini Alva mulai sangat posesif pada perempuan di sebelahnya ini.

Tanpa sadar, ya ... tidak, dia sangat menyadarinya. Dia ingin menjaga Risa, walau mungkin caranya salah dan agak berlebihan saat menyampaikannya. Dia ingin memiliki Risa dalam dekapan tubuhnya, tapi dia tahu batas di mana dia tidak bisa memaksa Risa untuk menyerahkan diri padanya.

Untuk itulah ... dia menahan semua hasrat yang sebenarnya sangat ingin dia salurkan.

Demi cintanya, dia ingin mengambil Risa secara perlahan, dengan cara menyentuh hati dan perasaannya. Namun dengan sifat Alva yang suka seenaknya, sepertinya ... semua itu akan sangat sulit terlaksana.

One Night Love (REPOST)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang