14 | Kecaman

28.9K 1.6K 36
                                    

"LO berdua nggak mau makan siang apa gimana sampai ngobrol mulu dari tadi nggak kelar-kelar?" sindiran tajam itu membuat Ralf dan Risa sontak saja menoleh.

Alva sedang berdiri dengan tangan bersedekap. Tatapannya terlihat layaknya sedang berkilat-kilat dengan sorot mata tajam, menghunjam tepat ke arah Risa yang hanya bisa terdiam dengan wajah menunduk dalam-dalam.

Ralf melirik arloji di tangan kirinya dengan ekspresi terkejut. "Gila, gue kira masih lama!" Ralf berdiri dan berjalan ke arah Alva. "Thanks, gue mau makan siang dulu."

Alva hanya melirik dengan tatapan yang sulit diartikan. Namun, dia hanya diam dan mulai melangkah mendekati Risa. "Lo nggak mau makan siang?"

"Waktunya udah nggak keburu, kan?" tanya Risa kemudian. Dia hendak menyalakan kembali komputernya saat Alva memegangi tangannya dan mencengkeramnya dengan kuat.

"Makan, Sa! Kalau lo nggak mau makan, minimal temani gue makan."

Risa memiringkan kepalanya sembari menatap Alva dengan senyuman yang tampak seperti tengah mencemooh pria itu tanpa suara. "Lo masih belum kenyang juga? Bukannya lo udah makan siang sama mereka berdua tadi, ya?"

Alva berdecak kesal. Dia menarik tangan Risa agar perempuan itu bangkit, lalu menyeretnya dengan agak kasar untuk mengikuti langkahnya keluar dari sana. "Gue cuma ngobrol doang sama mereka, nggak sampai makan siang, karena gue masih inget kalau lo belum makan."

Risa mengentakkan pegangan tangan Alva dengan kasar. "Kenapa lo kayak gini, sih, Va? Kenapa lo masih bisa mikirin gue, ketika lo lagi sama orang lain?" tanyanya dengan nada heran sekaligus terluka.

Kenapa orang lain bisa begitu sangat peduli padanya? Kenapa kekasihnya tidak ... walaupun dulu Alan pun melakukan hal yang sama, tapi tidak dengan sekarang. Walau beberapa kali Alan masih menghubunginya, tapi hanya kadang-kadang saja. Dengan alasan sibuk bekerja, hubungan jarak jauh mereka berakhir dengan lepas kontak dalam beberapa hari.

Namun pria ini ... dia bukan siapa-siapa Risa selain teman kerja yang kebetulan dekat dengan Ralf dan masih bersaudara dengan Alan. Tidak lebih. Tidak ada ikatan lebih dalam yang tidak seharusnya membuat Alva bisa begitu sangat perhatian padanya.

Jikalaupun ada, itu karena Risa ... pernah setuju untuk menjadi partner seksnya. Itu pun karena ia terpaksa menyetujuinya. Dan status itu tidak akan membuat seorang pria khawatir terhadap perempuan yang menjadi pelampiasan nafsunya saja, kan? Apalagi perempuan itu hanya dianggap sebagai alat, bukannya seorang manusia biasa.

Lalu kenapa ...?

Apa karena Alva memiliki sedikit rasa bersalah setelah mereka tidur bersama? Dia masih merasa bersalah, karena dialah yang mendapatkan mahkota Risa? Apakah memang seperti itu adanya?

Risa memandangi Alva lamat-lamat.

"Kenapa? Lo nggak suka gue pikirin, hm?" Alva mendelik ke arahnya dengan sorot mata yang sedikit membingungkan.

Ada amarah di balik nada suaranya, tapi sorot matanya menunjukkan bahwa dia sedang menahan pedih di dalamnya. Risa terdiam, kepalanya berpaling, matanya terpejam. Dia tak sanggup mengatakan apa pun untuk membalas, karena ia sama sekali tak mengerti alasan Alva memikirkannya sampai sejauh itu.

Alva kembali menarik tangan Risa dan membawa perempuan itu menuju kafetaria di lantai bawah. Ralf menunggu di lift dengan senyuman miring menghiasi bibirnya. Tangannya melambai sebagai isyarat untuk menyuruh mereka bergerak cepat.

"Gue kira lo udah turun duluan," sindir Alva dengan nada tajam.

"Setelah gue minta waktu dan bikin dia lupa makan siang, masa dengan teganya gue turun sendiri dan makan sendirian?" Ralf mendekati Alva setelah menekan nomor lift untuk membawa mereka turun ke lantai dasar. Dengan suara teramat pelan dia kembali berkata, "Gue harap lo nggak main-main kayak sepupu lo kali ini."

Alva hanya melirik tanpa mengucapkan satu patah kata pun. Ralf pun melakukan hal yang sama. Dua orang pria dewasa yang saling bicara melalui tatapan mata.

Merasakan keheningan itu Risa mendongak dan menatap dua orang teman kerjanya dengan wajah bertanya-tanya. Mengapa mereka bertatapan sampai seintens itu? Walaupun Risa juga berada di sana, tapi dia merasa kedua orang itu sedang berada di alam dimensi yang berbeda.

Lift terbuka, Risa menerobos kerumunan orang dengan tergesa-gesa. Situasi di mana dua orang itu beradu pandang membuatnya merasa amat sangat tidak nyaman. Alva mengejar dari belakang, disusul Ralf di sisinya. Sedang gerombolan orang-orang yang menunggu di depan pintu lift langsung masuk dan membawa lift naik ke lantai divisi masing-masing.

"By the way, gue penasaran." Ralf membuka suara saat mereka berjalan bersisian.

"Apa?" Walaupun sedang bicara dengan Ralf, tapi matanya hanya memandangi Risa seorang.

"Lo bukannya udah makan siang? Kenapa turun lagi? Kalau rencananya cuma mau nemenin gue makan, mending nggak usah. Gue bisa makan berdua sama Risa." Ralf menyeringai penuh kemenangan.

Alva mendelik dengan ekspresi mengerikan. "Gue juga belum sempat makan siang. Tadi, gue cuma ngomong aja sama mereka berdua."

"Ngomongin apa?"

"Apa gue kelihatan kayak orang yang mau ngasih tahu lo segalanya?"

Risa memperhatikan mereka. Dalam diamnya, dia juga penasaran dengan isi pembicaraan Alva dengan dua orang wanita dari divisi lain tadi. Walaupun begitu, dia hanya diam saja. Duduk dengan nyaman dan memalingkan pandangan ke arah lainnya.

Dia lapar, tapi dia tidak ingin makan.

"Lo nggak pesen sesuatu, Sa? Gue pesenin, deh! Gue traktir sekalian!" tawaran yang menggiurkan itu hanya Risa balas dengan gelengan.

Alva memejamkan matanya dan mulai memesan makanan diikuti Ralf di belakang. Pria itu memesan nasi disertai lauk pauk dan pepes ikan khas kafetaria kantor yang masih tersisa. Dia membawa semuanya ke tempat duduk Risa setelah dia mengambil tempat duduk di sebelahnya.

"Makan," gumamnya pelan, mengambil sendok lalu mulai mengambil nasi dan ia suapkan pada Risa yang melotot memandanginya. "Lo mau makan sendiri atau mau gue suapin? Kalau perlu, sekalian pakai mulut gue nyuapinnya, gimana?"

"Gila!" desis Risa. "Lo nggak lihat Ralf dari tadi ngelihatin kita di sini?"

"Dia?" Alva menunjuk Ralf yang geleng-geleng kepala melihat interaksi di antara mereka. "Anggap aja dia patung yang buta dan nggak bisa bicara."

"Tapi gue beneran lagi nggak pengin makan, Va! Please, ngertiin gue!"

"Lo belum makan lagi dari pagi. Mau nggak mau, suka nggak suka, nafsu nggak nafsu, lo harus makan lagi siang ini. Buka mulut!" Alva menyodorkan sendok berisi nasi penuh ke hadapan Risa. "Jangan buang-buang waktu istirahat gue, Risa!" geramnya emosi.

"Gue ... gue bisa makan sendiri," balas Risa yang kini mengambil alih sendok di tangan Alva dan menyuapkan nasi itu ke dalam mulutnya.

"Oke, lo makan sendiri, habisin!"

Alva bangkit, berniat membeli makanan lain saat ia merasakan Risa mencengkeram kemeja bagian belakang tubuhnya. "Lo mau ke mana?"

"Beli makanan lain," jawab Alva singkat.

"Gue nggak bisa habisin semua ini sendirian."

Alva mendesah kasar. Dia kembali duduk dan mengambil sendok yang ada di atas meja, lalu mulai menyendok nasi disertai lauk yang ada. "Jangan diem aja, lo juga harus makan. Gue cuma makan sebagian."

Risa mengangguk dan mulai memakan di samping Alva yang juga memakan makanannya dalam diam.

Sedangkan Ralf memperhatikan mereka dari kejauhan sambil memakan roti yang sebelumnya dia beli. Entah kenapa melihat pemandangan dua orang teman kerjanya yang berbagi piring dan makan bersama membuat perutnya terasa mulas. Entah karena dia iri atau mual secara bersamaan, karena dia tidak pernah melakukan hal seperti itu dengan kekasihnya.

Ralf mendesah panjang. "Mereka kelihatan cocok banget, masalahnya ... Risa itu pacarnya Alan, bukan Alva."

One Night Love (REPOST)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang