"Maksud lo apa?!" New mencengkram kerah kemeja yang dipakai Tay dengan kencang. Pagi ini, saat ia menemui pemilik kontrakannya, perempuan paruh baya itu mengatakan bahwa tempatnya telah dibayar lunas hingga tiga tahun ke depan.
Tiga tahun?!
Awalnya ia mengira ini semua ulah Toptap, tetapi saat dia bertemu sahabatnya itu di kelas, Toptap berkata bahwa ia tidak tahu apa-apa tentang ini. Dia bahkan bersumpah atas nama Tuhan karena itu. Tidak lama, lelaki itu teringat sesuatu yang menjadi awal perbincangannya dengan Tay.
Dengan informasi itu, New dengan cepat keluar kelasnya tepat setelah dosennya keluar, bergegas ke fakultas milik Tay, "Gua nggak butuh rasa kasihan lo ya, Tay Tawan! Lo kira gua balapan dengan bertaruh sama nyawa gua sendiri cuma buat seneng-seneng?! Gua kerja ya, bangsat!"
"New! New udah! Heh! Lepasin! Itu Tay nggak bisa napas!" Toptap berusaha melepaskan cengkraman itu dan untungnya berhasil.
Tay terbatuk-batuk, dadanya mulai sesak sekarang.
"Gua bakal balikin duit lo ya, tunggu aj—"
Bugh!
Satu pukulan mendarat di pipi New yang menyebabkan lelaki itu terjembab ke belakang.
"Peng! Jangan!"
Itu dari Off.
"Lo masih mau belain dia? Si nggak tau terima kasih ini? Harusnya lo sadar, lo gila tau nggak!" Off menunjuk muka New dengan jarinya, "Heh lo! Jangan sok jual mahal deh jadi orang, jijik tau nggak gua liatnya! Temen gua udah baik-baik mau bayarin tempat tinggal lo yang nggak seberapa itu, seharusnya lo berterima kasih, bukannya malah marah-marah kayak gini!" Lelaki yang lebih tinggi menghampiri tubuh milik New yang masih terduduk di aspal itu.
Sepersekian detik kemudian, Off melayangkan tinju mentahnya lagi.
Bugh!
"New!" Pekik Toptap, tadi ia bergegas pergi untuk meminta bala bantuan, tetapi dia tidak bisa menemukan kekasihnya di mana-mana.
"Urus tuh temen nggak tau diri lo, jangan ganggu sahabat gua lagi kalo nggak mau dia mati di tangan gua." Mata Off memandang tajam kea rah New yang sekarang sedang menundukkan kepalanya.
Setelahnya, Off memapah Tay ke tempat yang lebih sepi agar lelaki itu bisa mendapat lebih banyak oksigen mengingat tempat tadi menjadi ramai karena pertikaian mereka.
"Lo nggak papa, Peng?" Off bertanya, khawatir. Pasalnya sekarang Tay hanya bisa memegangi dada kirinya.
"O-obat gua..." Tay menunjuk ke arah tasnya.
Off dengan cepat mengambil obat yang sudah dia hafal di luar kepala itu, mengambilnya satu dan memberikannya pada sahabatnya, "Ini minumnya." Kemudian juga menyodorkan satu botol minum pada lelaki itu.
Setelah sakitnya dirasa mereda, Tay menatap Off dengan pandangan tajam, "Kenapa lo nyentuh dia?"
"Gua benci dia, Tay."
Tay meninggikan nada suaranya, "Tapi, lo nyentuh dia. Lo udah janji buat nggak pake kekerasan apalagi itu soal New. Gua udah biasa digituin sama dia, Peng. Lo seharusnya nggak gitu."
Raut wajah Off mengeras mendengar pernyataan Tay, "Peng, bisa nggak lo dengerin gua, sekali aja. Kali ini aja. Gua udah muak banget ngeliat lo diperlakuin gini sama orang yang bahkan nggak sebanding dengan kita. Kalo New anak presiden, gayanya setinggi langit pun masih gua maklumin. Dia? Dia siapa, Tay? Kenapa lo mau-mau aja diginiin sama dia? Lo bahkan bisa beli hidup di—"
"Off Jumpol! Makin lama ucapan lo makin keterlaluan tau nggak? Lo pikir gua nggak sakit hati diperlakuin kayak gitu? Sakit, Peng. Sama sakitnya pas gua denger lo ngejelek-jelekin New di depan gua. Lo sama gua nggak tau latar belakang keluarga dia, lo nggak berhak ngehakimin dia kayak gitu. Gua juga mau nyerah, tapi nggak tau kenapa hati gua nggak mau ninggalin New—" Tay membuang arah pandangnya, pikirannya telah matang. Sepertinya, ia akan menyerah kali ini. Tetapi, tentu saja ada hal yang harus New bayar dengan itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Right From The Start ✓
RomanceYou already being the winner of my heart right from the start, Te. Sekarang, janji buat bahagia, ya? A Taynew's fic by Polcarizm.