Their First Day

919 103 16
                                    

New mengalihkan pandangannya keluar jendela mobil itu. Ia pikir, Tay akan mengantar jemputnya dengan mengendarai mobilnya sendiri. Benar memang dia menggunakan mobil yang biasa lelaki itu gunakan, tetapi ada supir di depan mereka. Bahkan sepasang 'kekasih' itu duduk di kursi tengah berdua. Meninggalkan lelaki paruh baya yang fokus berkendara di depan mereka.

New agaknya tidak enak.

Tadinya, ia ingin menemani lelaki itu untuk duduk di kursi depan, tetapi tentu saja Wawan menolak. New adalah kekasih tuannya, mengapa ia harus duduk di sebelahnya yang notabenenya hanya seorang supir?

"Kamu nanti selesai kelas jam satu, kan? Aku baru selesai kelas jam setengah tiga, nanti kamu ke café duluan aja ya sama Pak Wawan, sorenya aku nyusul." Kata Tay sembari tersenyum.

Lelaki di sebelahnya yang tadinya berfokus ke luar jendela pun langsung menolehkan kepalanya, "Nggak usah, gua naik ojol aja, kasian Bapaknya juga kalo harus bolak-balik nganter gue sama jemput lo lagi."

"Maap nih Mas New kalo Bapak nyela, tapi Bapak nggak papa kok, udah tugas Bapak juga. Jadi, jangan ditolak ya sarannya Mas Tay." Wawan menunjukkan senyumnya lewat cermin di atas sana.

Tay sendiri tersenyum menang mendengarnya, "Tuh denger sendiri, Pak Wawan-nya juga nggak papa, kok. Nanti bareng Pak Wawan, oke? Aku pastiin dia udah sampe di depan fakultas kamu pas kamu keluar gedung."

New menarik napasnya, panjang, "Oke..."

"Nah gitu, dong!" Tay mengusak-usak rambut itu, gemas.

---

Tay, dua puluh satu tahun, tidak pernah bisa menyetir.

Bukan, bukannya ia tidak mau belajar, tetapi sedari ia kecil, ibu dan ayahnya selalu melarangnya untuk menyentuh benda itu. Entah itu motor ataupun mobil.

Mengapa?

Karena mereka tidak ingin sesuatu terjadi di tengah jalan ketika lelaki itu mengendarai mobilnya sendiri. Entah tiba-tiba jantung lelaki itu kambuh saat menyetir dan tidak ada orang satu pun di sekitarnya, itu adalah mimpi terburuk.

"I did it." Tiba-tiba Tay mengatakan itu pada teman-temannya saat mereka berkumpul di kantin untuk makan siang.

Off mengerutkan keningnya, heran, "Apaan, Peng?"

"New is mine."

"Uhuk!" Off tersedak.

"HAH?" Arm berteriak.

Dan Singto ternganga dibuatnya.

"KOK BISA?!" Ujar ketiganya secara bersamaan.

Tay tersenyum senang, "Bisa dong, gua gitu."

Namun, tentu saja salah satu dari mereka memandang temannya itu dengan pandangan curiga, "Peng, coba cerita kali ini kebodohan apa lagi yang lo lakuin buat tu cowok?" Nada bicaranya terdengar serius.

Demi Tuhan! Arm dan Singto dibuat merinding karenanya. Ini bukan Off, Off yang mereka tahu sangat senang bersenda gurau, tetapi mereka cukup mengerti mengingat orang yang mereka bicarakan adalah seorang New Thitipoom.

Tay mengedikkan bahunya, santai, "Kayak yang lo semua tau, gua bayarin kontrakan dia."

Ketiganya mengangguk, paham dengan konteks yang ini, "Buat gantinya, gua minta dia jadi pacar gua."

"PENG LO GILA?!"

"I am." Karena ini hanya satu-satunya jalan.

"Sampe kapan? Sampe kontrakannya abis?" Arm menanggapinya cukup tenang, sedikit banyak tahu bagaimana perasaan sahabatnya itu hari ini, memang dia merasa aura Tay agak berbeda pagi ini, lebih berseri seakan-akan sebongkah berlian jatuh menimpanya dari langit secara tiba-tiba.

Right From The Start ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang