"Nih." Tay menyerahkan satu cone es krim rasa vanila pada kekasihnya yang asyik memperhatikan orang-orang berlalu lalang di taman sore ini. Wajah damai yang terpatri di sana tidak pernah gagal menghasilkan kepuasaan tersendiri di batinnya. Bagai semilir angin yang menyapa kulit di tengah kegembiraan yang hadir.
"Makasih, Te." Bahkan sekarang nama panggilan Tay berubah. Dan hanya New yang diperbolehkan menyebutnya dengan sapaan itu. Khusus. Spesial. Berbeda dari yang lain.
Sama seperti... arti lelaki manis itu di hidupnya.
Tay tersenyum, tampak gigi-giginya yang putih nan rapih, memikat beberapa manusia yang juga tidak bisa melepaskan pandangannya pada pria tampan itu.
New menikmati kudapan yang sengaja kekasihnya beli, mengecap rasa manis yang menyambut indera perasanya, meningkatkan hormon serotonin dalam tubuhnya. Membuat hatinya lebih nyaman dan tenang.
"Kita mau ke mana lagi hari ini? Kamu janji mau kencan sama aku sampe malem, kan?" Lelaki dengan tubuh yang lebih besar menautkan tangan keduanya, mengecup punggungnya pelan, sebelum genggamannya dieratkan.
Hangat. Nyaman.
"Terserah, aku ngikut kamu. Kamu yang ngajak aku kencan, kan?" Ini sudah seminggu sejak hari jadi mereka. Setelah percakapan mereka malam itu, New menjadi lebih terbuka. Menjadi lebih bisa bersikap nyaman dengannya. Menjadi lebih... seperti kekasihnya.
Tidak jarang keduanya mengecup satu sama lain. Entah pipi, bibir, ataupun kening. Semua berubah hanya dalam waktu satu minggu lamanya.
"Liat bintang, mau? Aku biasa diajak Mas Podd liat bintang kalo malem."
"Boleh..."
"Nanti aku kenalin ke Mas Podd, ya? Dia kakak aku. Dokter lho..."
New tersenyum. Tay itu senang membanggakan orang lain, selalu dengan bangganya menceritakan prestasi yang diraih teman-temannya, dan tanpa ragu bertepuk tangan di garis paling depan ketika melihat pencapaian orang-orang di sekitarnya.
"Oh ya? Mama kamu bangga banget, dong? Anak pertamanya dokter, anak keduanya calon insinyur. Waw... sepinter apa kedua orang tua kamu sampe nurun gini ke anak-anaknya."
"Pacarnya juga pinter, ikut lomba terus. Menang terus. Nilai nggak pernah turun, mendekati sempurna. Ganteng. Cantik juga. Gemesin. Baik banget sama orang-orang sekalipun sering dijahatin, dan walaupun kadang galak sama pacarnya sendiri, tetep aja aku sayang. Apa lagi ya—"
"Stop. Sebel tau nggak dengernya?" New mengalihkan pandangannya, tidak berniat menatap wajah sang kekasih sebab yakin dengan sangat jika seluruh wajahnya telah berubah warna sekarang.
Tay terkekeh dalam diamnya, tangan yang tadinya ia gunakan untuk mengenggam tangan hangat milik New ia lepas, dialihkan ke bahu pria itu. Menarik tubuh yang lebih kecil agar lebih dekat dengannya.
"Pengen berhentiin waktu." Gumam lelaki tan.
"Kenapa?"
"Pengen... aja?"—pengen terus sama kamu, haha. Mustahil, ya?
"Kalo aku... lebih pengen balikin waktu, sih." Sembari tangannya melemparkan bekas tisu yang tadi digunakan untuk mengelap sudut bibirnya akibat es krim yang mulai mencair, mata New menerawang ke arah langit.
"Kenapa?"
"Pengen ketemu Ibu, hehe."
"Kamu sayang banget sama Ibu, ya?" Pertanyaan bodoh, Tay. Siapa yang tidak sayang dengan orang yang telah membawa dirinya ke dunia?
"Banget lah. Kamu juga, kan? Harus, Te. Harus sayang."
Tay mengangguk, menyetujui pernyataan lelaki manis di sampingnya. Mengingatkannya pada masa-masa sulit mereka. Awal Tay divonis penyakit berat, bahkan Wira harus dirawat di rumah sakit karena terlalu shock dengan berita yang didengarnya. Papanya yang menyesal hebat karena penyakit itu merupakan penyakit turunan dari keluarganya. Dan kakaknya yang menangis histeris, takut jika adiknya akan pergi jauh dari hidupnya tidak lama dari masa itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Right From The Start ✓
RomanceYou already being the winner of my heart right from the start, Te. Sekarang, janji buat bahagia, ya? A Taynew's fic by Polcarizm.