One thing

937 87 5
                                    

Toptap menatap layar ponselnya lekat-lekat. Demi Tuhan, ini sudah hari ketiga sejak terakhir kali ia bertemu dengan New. Terakhir di tanggal tujuh dan ini sudah tanggal sepuluh. Kekasih Mike itu yakin, si manis ada di dalam kontrakannya, sebab motornya ada di sana.

"Si anjing!—New ke mana sih, anjir?" Toptap mengumpat lalu dengan cepat pergi keluar dari kamarnya, berniat mengambil minum karena tenggorokkan yang mulai dirasa kering. Lelaki itu mengerutkan keningnya ketika mendapati sang adik terduduk di ruang tengah bersama violin kesayangannya.

"Win?" sapanya, pelan, kemudian ikut mendudukan diri di sana. Memandang sendu adik lelakinya. Semenjak Win kehilangan penglihatannya satu tahun yang lalu, Toptap kerap kali mendapatinya terisak sembari memeluk instrument kesayangannya itu atau hanya sekedar mengelusnya seperti ini.

Namun, ia paham benar bagaimana kerinduan yang membuncah dalam hati Win Metawin, sebab violin adalah sebagian hidup lelaki yang hanya berjarak tiga tahun dari usianya itu.

"Ah, Kak Toptap."

"Sebentar ya, Win, Kakak bakal nemuin sebentar lagi."

Lelaki bergigi kelinci itu tersenyum, menanggukkan kepala setelahnya. Ia tak pernah menuntut kakak laki-lakinya untuk dengan segera menemukannya donor mata, tak pernah sekalipun—walau jemarinya kepalang rindu untuk menggesekkan bow-nya.

"Oh, Kak Toptap, kemaren malem kata Pak Nanang ada temennya Kakak di depan. Katanya yang suka bawa motor gede itu, Kak New kan, ya?"

"Motor gede?"

"Iyaaa, siapa lagi kalo bukan Kak New kan, ya?—"

Toptap menganggukkan kepala sembari mengerutkan kening. Anak itu... ke mari? Untuk apa? Mengapa ia bisa ke sini sedangkan selama tiga hari ke belakang ponselnya sama sekali tak bisa dihubungi. New tak pergi ke kampus, tidak pula ke tempat kerja.

Sama, sejak tanggal tujuh kemarin hingga detik ini, belum ada seseorang pun yang Toptap kenal berbincang dengan sahabatnya—sampai setidaknya informasi yang barusan diberi oleh sang adik, informasi yang membuat kekhawatiran timbul lebih dan lebih lagi.

"New, nggak nitip apa-apa, Win? Pak Nanang ada bilang kamu nggak?"

Win menggeleng, "EH—tapi kata Pak Nanang, Kak New diem lamaaaa banget di depan rumah. Tadinya mau disamperin, tapi keburu pergi."

Kalimat yang dikatakan Win kemudian menguatkan tekad Toptap untuk menghampiri sahabatnya besok. Ia tak mau tahu, besok New harus sudah terpampang jelas di depan matanya. Utuh. Tanpa cedera atau patah tulang. Jangan lupa senyuman yang kerap membuat Toptap ingin memukulnya karena terlalu lebar.

Ia tak mau ada kata lain, yang jelas esok pagi, Toptap harus sudah bisa mencubiti pipi si manis sebagai hukuman karena telah menghilang selama hampir tiga hari.

---

"NEW LO KE MANA AJA BANGSAT?!" Kekasih Mike itu baru saja turun dari mobil yang dikendarai sang kekasih ketika melihat sosok yang sangat dikenalinya sedang memakirkan motor. Toptap berlari, melajukan kakinya cepat-cepat ke arah sahabatnya di sana. Tanpa menghiraukan bagaimana tatapan mata beberapa orang yang memandangnya penuh tanda tanya.

"HEH! LO KEM—ANJING! KENAPA BONYOK BEGINI MUKA LO?!" Toptap menyentuh beberapa luka di wajah New, agak kasar, menghasilkan desisan serta tepisan kuat-kuat dari empunya muka.

"Sakit, anjir!"

Kakak dari Win itu meringis, sebelum akhirnya kembali memasang raut garangnya, "Jawab. Gue. Yang. Bener. New. Thitipoom." Nada rendah yang sengaja ditekan keluar dari bibir itu membuat New terkekeh pelan sebelum akhirnya melangkahkan kaki menuju kelas mereka. Disusul Toptap yang kini menghentakkan kaki sebab pertanyaannya diabaikan.

Right From The Start ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang