Lambaian tangan

1.5K 67 8
                                    

Agak fantasy, ya...

tapi enjoy!

---

New tersenyum, tubuh yang tadi ia tumpu pada batu di belakangnya, terangkat. Hah, kekasihnya telah tiba. Dengan bunga krisan di tangannya, lelaki yang sudah si manis tunggu selama lebih dari empat bulan itu berjalan terseok. Mengikuti langkah dua orang di depannya.

"Off sama Arm... sehat, kan? Makasih ya udah ngunjungin gua seminggu sekali." Lirih New pada angin yang berhembus. Tatapan matanya teduh—menyambut kedatangan seorang Tay Tawan dengan mata membengkak dan pandangan kosongnya.

"Makasih juga karena udah bisa... bawa Tay ke sini." Mata jernih milik New tidak bisa terlepas dari pria yang berdiri kaku di depan pusara miliknya. Batu besar di sana memang terukir nama New besar-besar, berikut nama ayahnya, tidak lupa tanggal lahir dan tanggal kematiannya.

"Halo, Te. Apa kabar?"

"Hin..." Panggilan yang terdengar membuat New mengikis jarak yang keduanya punya, kini lelaki dengan kulit putih susunya telah berada tepat di samping pria kecintaannya.

"Ya, Te?" Suara bergetar yang keluar dari bibir milik Tay, membuat New ingin sekali memeluknya, begitu ringkih dan rapuh. Seperti bukan kekasih yang ia kenal. Si manis meyakini dalam hati—bahwa beberapa hari ke belakang, pasti lelaki itu memiliki waktu yang berat.

"Hin..."

"Hm?" New menatap sang pria, pria yang tidak mau melepas pandangan sendunya pada pusara yang bertuliskan nama cintanya—Namun, tak lama, keningnya berkerut ketika sebuket bunga dalam genggaman Tay dijatuhkan begitu saja, diikuti dengan langkah tergesa setelahnya.

Tay pergi—setelah menyapanya barang sebentar.

Senyum milik New memudar—Tay... masih sangat membencinya, ya?—bahkan saat raganya telah terbaring di bawah sana, lelaki itu pun enggan menatapnya. Ia benar semenjijikan itu? New benar tak punya kesempatan lagi, ya?

Walau begitu, langkah kaki milik New dibawa untuk mengikuti Tay dengan Off yang setia mengejar di belakangnya.

"Peng!—lo mau ke mana?!" Off berhasil menarik ujung baju milik sahabatnya—membuat langkah milik lelaki tan tadi terhenti digantikan dengan simpuhan yang bahkan New tak paham apa tujuannya.

"Nggak bisa—gue nggak bisa." Gelengan yang diberikan oleh Tay membuat New kembali mengerutkan keningnya. Kekasihnya... kenapa?

"Kamu nggak papa, Sun?"

"Gue nggak bisa kasih dia penghormatan terakhir, Peng—gue nggak mau, New seharusnya masih di sini—dia nggak mungkin pergi ninggalin gue. Dia udah janji, udah janji sama gue buat nepatin semuanya—semuanya, tapi bukan mati. Peng, ayo, gue mau pul—"

"Tay Tawan, denger—"

"Off!" New memekik pelan ketika melihat bagaimana tangan milik Off mencengkram kerah kemeja hitam milik Tay keras-keras.

"—yang sopan. Lo udah di sini—Tay, he's your boyfriend, inget? Lo nggak bisa pergi gitu aja tanpa kasih penghormatan terakhir lo—yang serius. Tay, dia tuh beneran sayang banget sama lo, paham? Gue iri! Gue iri, bangsat!"

"Off..."

Tay terdiam dalam lamunannya—air matanya kembali setelah semalaman berusaha ditahan. Ia sendiri juga berjanji dalam hati untuk tak menangis di atas pusara milik New. Setidaknya hari ini, Tay mau menunjukkan wajahnya pada New—wajah dengan senyum secerah dan sehangat matahari, seperti perkataan si manis tempo hari.

Right From The Start ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang