5

69 6 0
                                    

"Pak Heeseung! Hari ini libur aja yuk?" pinta muridnya yang bernama Dongsan.

"Mana bisa, katanya kamu mau jadi penyanyi hebat. Gimana mau jadi penyanyi hebat kalau minta libur terus?" tanya Heeseung sambil tertawa kecil. Setelah ia melontarkan kata kuncinya pasti muridnya yang satu itu akan langsung merubah pikirannya.

"Oh iya, yaudah kalo gitu langsung mulai aja ayo. Oh iya, Pak. Katanya Dongkyu dia gak masuk hari ini, tenggorokannya sakit," ujar Dongsan. Lelaki yang masih menduduki bangku SMA itu memiliki mimpi untuk menjadi seorang penyanyi yang terkenal.

"Oh begitu, ya sudah semoga Dongkyu cepat sembuh. Sekarang kita mulai kelas hari ini ya."

Setiap mengajari Dongsan, Heeseung tidak pernah bisa melunturkan senyumnya. Melihat mata anak itu yang ikut tersenyum membuatnya merasa gemas sekaligus semakin merasa rindu dengan sang adik.

"my, oh my, oh my please be my only love ...."

Heeseung menikmati setiap lirik yang anak itu nyanyikan dengan mata yang terpejam dan kepala yang mengangguk pelan mengikuti irama. Dongsan juga terlihat sangat menghayati lirik demi liriknya sehingga pesan pada lagu yang ia nyanyikan dapat tersampaikan dengan baik kepada yang mendengarnya.

"Gimana, Pak? Bagus gak suara Dongsan?" tanyanya bersemangat menunggu timbal balik dari guru vokalnya.

Heeseung mengangguk, dalam hatinya ia benar-benar ingin memuji bakat Dongsan yang di atas rata-rata untuk anak seumurannya. Tapi ia khawatir anak itu akan merasa puas dan menjadi malas untuk berlatih karena merasa sudah sempurna.

"Sudah bagus, tapi kamu masih harus banyak berlatih supaya suaramu lebih terdengar nyaman. Ada beberapa bagian yang terdengar seperti memaksa, saya harap kamu bisa memperbaiki itu ya," ujar Heeseung lembut.

"Oh oke, Pak. Siap! Dongsan bakalan ikutin apa yang Pak Heeseung bilang," balas Dongsan lalu melakukan gestur hormat.

Heeseung mengusak rambut muridnya pelan. "Ya sudah, sampai sini kelas kita hari ini. Sampai bertemu minggu depan, Dongsan."

Dongsan mengambil tasnya lalu menggendongnya di pundaknya. "Dadah, Pak Heeseung!" pamitnya lalu keluar dari ruangan.

Mengingat Dongsan adalah murid terakhir yang ia ajari untuk hari ini, Heeseung pun bersiap untuk pulang. Ia merapikan ruangan mengajarnya sedikit dan menggendong tas miliknya dan keluar dari kelasnya.

Di depan gedung tempat ia mengajar terdapat seorang wanita berambut hitam dan memiliki tahi lalat di hidungnya yang memakai dress berwarna hitam dengan renda di ujung roknya serta kalung emas yang membuat siapa saja mengetahui kalau wanita itu merupakan orang berada.

"Pak Heeseung," panggil wanita itu.

"Oh iya, ibunya Dongsan ya?" tanya Heeseung memastikan.

Wanita itu mengangguk. "Saya Mina, saya mau mengucapkan terima kasih kepada Pak Heeseung karena sudah mengajarkan anak saya menyanyi. Beberapa hari yang lalu anak saya mendapatkan tawaran dari beberapa agensi untuk meraih cita-citanya sebagai penyanyi," ujarnya panjang lebar dengan wajah yang bahagia.

"Wah benarkah? Saya belum dengar berita ini, saya ikut senang mendengarnya. Semoga Dongsan bisa meraih cita-citanya ya, Bu Mina." Tentu saja Heeseung turut senang mendengar kabar baik dari salah satu muridnya.

"Saya ingin memberikan sesuatu untuk Pak Heeseung, memang tidak seberapa tapi saya harap Pak Heeseung mau menerimanya." Wanita yang bernama Mina itu menyodorkan sebuah amplop putih yang tidak diketahui apa isinya.

"Ah, tidak perlu, Bu." Tolak Heeseung.

"Tidak apa, terima saja. Ini ucapan terima kasih saya untuk Pak Heeseung. Tanpa Pak Heeseung anak saya belum tentu bisa menjadi sehebat sekarang," ujar Mina masih dengan tangan yang menggenggam amplop putih itu.

Mau tidak mau Heeseung pun menerimanya. "Baiklah, terima kasih banyak, Bu Mina," ucapnya lalu membungkuk.

Mina ikut membungkuk lalu pamit untuk pergi. Heeseung pergi ke parkiran khusus pengajar. Di ujung pagar keluar parkiran, ia melihat seorang perempuan yang tak asing di matanya. Kelihatannya perempuan itu sedang butuh bantuan.

"Winter? Mau saya bantu? Kebetulan saya mau pulang juga," ucapnya sembari memandangi plastik-plastik hitam besar yang entah apa isinya. Tapi sepertinya akan sangat memberatkan jika Winter membawanya sendirian.

"Oh ... boleh. Terima kasih," ucap Winter. Saat itu juga Heeseung mengangkat seluruh plastik bawaannya dan menaruhnya di bagasi mobil. Tak lupa lelaki itu membukakan pintu untuk Winter.

"Anda baru pulang kerja?" tanya Winter.

Heeseung mengangguk tanpa mengalihkan perhatiannya dari jalanan. "Iya, saya ngajar les vokal si sini," balasnya.

"Setiap hari? Atau hanya hari tertentu?"

"Setiap hari kecuali Sabtu dan Minggu. Tapi khusus murid saya yang bernama Dongsan dan Dongkyu bisa setiap saat." Bukannya ia pilih kasih dengan murid-muridnya yang lain, hanya saja ia ingin memberikan kedua anak yang ia sebutkan tadi seluruh kemampuan bernyanyi yang ia miliki.

Tak jarang juga Dongsan dan Dongkyu datang ke rumah lelaki itu hanya untuk melatih kemampuan bernyanyinya. Tentu saja Heeseung menerima mereka dengan hati yang gembira.

"Ah ... begitu. Kalau Ryujin? Apakah dia kerja juga?" tanya perempuan itu lagi.

"Dia juga mengajar sama seperti saya, tapi bedanya dia guru tari modern. Lokasi mengajarnya lumayan jauh dari sini."

"Pasti melelahkan sekali ya bagi Ryujin."

Heeseung setuju dengan perkataan Winter. Pasti menjalani hari sebagai Ryujin sangat berat. Apa lagi perempuan itu harus bergerak setiap saat karena ia mengajar tari modern yang gerakannya rumit dan lincah. Belum lagi saat di perjalanan, tidak selamanya jalanan sepi dan lancar.

Akhirnya Winter berhenti bertanya dan diam sampai mobil yang Heeseung kendarai tiba di depan rumahnya. Saat ia hendak mengambil plastik miliknya, ternyata Heeseung sudah lebih dulu membuka bagasi.

"Biar saya saja yang bawa," ujar Winter saat melihat Heeseung sedang ancang-ancang untuk mengangkat plastik miliknya.

"Gapapa, saya khawatir anda kesusahan." Heeseung pun mengangkat plastiknya lalu mengikuti Winter masuk ke dalam rumahnya. "Saya taruh di sini ya?" tanyanya lalu menaruh plastik itu di dekat sofa ruang tamu.

"Oh iya, terima kasih. Anda boleh pulang." Heeseung berpamitan lalu meninggalkan Winter sendirian di rumahnya.

Perempuan itu mengambil ponselnya lalu menghubungi seseorang. Wajahnya tidak menunjukkan emosi apa pun. Dikala menunggu seseorang yang ia hubungi mengangkatnya, jari jemarinya sibuk beradu satu sama lain.

Matanya memandangi plastik yang hanya berisikan batu-batu besar tidak berguna. "Yang namanya Lee Heeseung ternyata sangat baik, mudah dimanfaatkan," gumamnya lalu tersenyum licik.

"Halo? Saya minta kalian berdua untuk awasi lelaki yang bernama Heeseung dan Ryujin. Jangan lupa cari tahu beberapa orang yang bekerja dengan mereka."

Setelah memerintahkan anak buahnya, perempuan itu terdiam sebentar mendengarkan perkataan anak buahnya. "Untuk saat ini sasaran kita mereka berdua saja, yang lain sepertinya akan sulit," ucapnya final lalu memutuskan sambungan telepon.

"Akan kubuktikan kalau pekerjaan ini sangat mudah seperti menghabiskan gulali dalam hitungan detik."

《《《 》》》

《《《 》》》

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
PONZONATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang