9

41 2 0
                                    

"Asik! Baiklah sebentar lagi aku sampai, jangan biarkan anak-anak itu kabur."

Begitu memutuskan sambungan teleponnya dengan partner kerjanya, perempuan berambut pirang itu menaruh ponselnya di dalam tas kecil yang ia bawa. Matanya memandangi jalanan dari jendela taksi dengan perasaan yang berbunga. Sebentar lagi uang akan datang kepadanya.

"Ah ... sepertinya lebih baik aku melepas rambut sialan ini," gumamnya sambil menarik rambut pirang palsunya lalu merapikan rambut aslinya yang berwarna hitam dan tidak terlalu panjang. Memakai rambut palsu itu membuat kepalanya sakit dan mudah merasa pening. Ia juga memakai masker untuk menutupi wajahnya.

"Sudah sampai di tujuan, Nona," ucap sang supir taksi.

Winter mengeluarkan beberapa lembar uang lalu memberikannya kepada sang supir. Ia melangkah keluar dari taksi menuju sebuah gedung yang terletak di gang kecil. Suara sepatu kets yang beradu dengan aspal terdengar sangat kencang karena hampir tidak ada kehidupan di gang itu.

Perempuan itu masuk ke dalam gedung dan berjalan menuju satu ruangan. Ia bisa melihat beberapa rekan kerjanya dan dua orang yang duduk di atas kursi dengan tubuh yang dililit tali dan juga lakban. Dengan senyum licik perempuan itu berjalan menghampiri mereka berdua.

Jari jemarinya menyentuh dagu lelaki muda berambut putih dan mengangkatnya. "Hai, anak kecil," sapanya. Alih-alih ramah, sapaannya terdengar mengintimidasi bagi kedua anak itu.

"Ibu siapa?!" tanya lelaki muda yang berambut putih.

Lantas Winter membelalakkan matanya. "Ibu? Saya masih muda, berani sekali kamu memanggil saya ibu," protesnya. Ia sedikit tersinggung dengan panggilan 'ibu' yang anak itu berikan, padahal dirinya tidak terlihat setua itu.

"Bebasin kita, Bu. Kita mau les, nanti guru kita nyariin," lirih lelaki yang berambut hitam.

"Jangan panggil saya ibu!" bentak Winter di hadapan kedua anak itu, lantas mereka berdua terdiam tidak berani berkata apa pun. "Kalian akan saya bebaskan jika guru kalian sudah menebus kalian dengan uang," lanjutnya lalu berjalan menuju jendela ruangan yang menampilkan pemandangan atap-atap rumah dari kejauhan.

"Guru? Guru siapa? Yang mana?" tanya anak berambut putih yang bernama Dongsan.

"Heeseung, Lee Heeseung guru menyanyi kalian yang bodoh itu," jawab Winter dengan intonasi yang terdengar licik.

"Pak Heeseung gak bodoh!" bantah Dongkyu. Ia tidak akan sudi mendengar siapapun berani melabeli guru kesayangannya dengan sebutan yang tidak patut. "Mendingan Ibu—eh Kakak cepet lepasin kita berdua. Pak Heeseung pasti nyariin kita," perintah anak itu sesekali berusaha membebaskan kedua tangannya yang diikat tali.

"Saya sudah bilang, saya akan membebaskan kalian kalau Heeseung sudah memberi saya uang!" bentak Winter bersamaan dengan sepatunya yang dihentakkan ke lantai.

"Emangnya kita barang jual-beli apa? Harus dibayar dulu baru bisa diambil," cibir Dongsan.

Karena tidak ingin emosinya semakin memuncak, perempuan itu pergi keluar dari ruangan meninggalkan dua anak itu dan membiarkan rekannya yang lain mengawasi mereka.

Sebelum meninggalkan markas, perempuan itu memakai rambut palsunya lalu berjalan keluar menyusuri gang kecil itu. Ia ingin menghubungi Heeseung sekarang tetapi sepertinya tidak akan menyenangkan jika melakukan semuanya sekarang. Ia akan membiarkan lelaki itu gelisah terlebih dahulu.

"Kak Winter?"

Seorang laki-laki berdiri di sampingnya dan memandangnya menelisik. "Kamu ... siapa?" tanya Winter. Ia tidak merasa kenal dengan lelaki itu.

PONZONATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang