Chapter 3

76.3K 3.9K 175
                                    

Normal's POV

Langkah kaki Jenna kini berhenti di sebuah labolatorium komputer yang berada di pojok balkon Xtc.

Disana ia menumpahkan seluruh sesak di dadanya dengan air mata yang sedari tadi ia tahan mati-matian di hadapan Harry.

Air mata itu mengalir diiringi isakan tangis darinya.

Kejadian itu terulang lagi.

Ya, kejadian itu terulang lagi.

Setelah sekian lama ia bertekad untuk tidak jatuh cinta pada seseorang lagi, setelah sekian lama ia menutup pintu hatinya rapat-rapat, setelah sekian lama ia berada dalam keterpurukan masa lalu, dan setelah sekian lama ia tidak menghiraukan perasaan yang dikenal dengan Cinta...

Kini-pada akhirnya, dengan mudahnya Harry menerobos pertahanan tekadnya dengan cepat, dengan mudahnya ia menjadi objek pertama dipikiran Jenna, membuat Jenna tidak bisa untuk tidak menghiraukan perasaan itu mendesak masuk ke hati dan juga pikirannya.

Matanya tertutup rapat-rapat. Kedua tangannya mencengram dengan kuatnya sehingga membuat buku-buku tangannya berganti warna menjadi putih. Air matanya, ia biarkan mengalir sesukanya.

Ia hanya sedikit berusaha untuk berdamai dengan keadaan. Keadaan yang terlalu menuntutnya dalam kesedihan.

Suara petir menggelegar bersahutan. Orang-orang di jalan tak satu pun terlihat. Entah sudah berpuluh-puluh kali gadis ini melihat ke arah jalanan. Barangkali ada sesosok tubuh yang akan mendekatinya. Tetapi tiada. Tetap tak ada, walau dia sudah terpaku di tempat ini selama dua jam lamanya. Bahkan sampai curahan air hujan tinggal menitik satu demi satu, terganti dengan air matanya yang kini menitik, satu demi satu.

"Zayn, kau dimana?" bibir mungilnya bergumam lirih, bahkan suaranya hampir tertelan oleh hembusan semilir angin yang menerpanya.

Gadis itu masih tetap terpaku disana. Masih menunggu seseorang yang telah berjanji akan menemuinya di tempat ini. Walaupun hujan menghadang, walaupun kondisi tubuhnya sudah basah akibat hujan, walaupun tubuhnya sudah memutih akibat kedinginan, tetapi tetap saja..
Tetap saja ia masih menunggu sosok yang ia harapkan untuk datang saat ini.

"Jenna." bibir mungil itu mengukir senyuman ketika indra pendengarannya menangkap suara seseorang. Seseorang yang ia tunggu kehadirannya sejak tadi sekiranya sudah berdiri di hadapannya kini.

Penantiannya tidak sia-sia.

"Kau masih menungguku?"

Pertanyaan dari lelaki itupun hanya dijawab dengan anggukan oleh gadis ini. Sesungguhnya, gadis ini sangat ingin sekali mengutarakan segala perasaan kesalnya kepada lelaki di hadapannya kini, tetapi-apa daya? Kondisi tubuhnya tidak memungkinkan ia melakukan itu semua, dia terlalu lemah. Lemah karena kedinginan menunggu lelaki yang bernama Zayn.

Entah kenapa,melihat kondisi Jenna sekarang, Zayn semakin dilanda rasa bersalah. Zayn tidak sanggup mengatakan semuanya kepada kekasih hatinya selama setahun belakangan ini. Gadis yang sangat ia cintai, gadis yang selalu menemaninya, memberinya kasih sayang dan dukungan, gadis yang selalu membuat hari-harinya lebih berarti dari sebelumnya, gadis yang mengenalkannya pada dunia yang belum ia jelajahi sebelumnya, Cinta.

Zayn menghirup napasnya dalam-dalam, menutup kedua matanya, dan menghelanya pelan-pelan. "Ada yang ingin ku bicarakan padamu, Jen."

Jenna hanya memandang Zayn dengan tatapan 'apa'.

Lagi-lagi, Zayn mendesah jengah, "Kita... harus berakhir."

Alzheimer DiseaseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang