Chapter 7

44.1K 2.8K 247
                                        

Ada kala saat-saat ketika pria bersikap baik.
Ketika suara mereka lembut.
Dan kata-kata mereka memikat.
Ada saat-saat ketika cinta itu buta.

Pernah dulu kubermimpi.
Saat asaku tinggi.
Saat kau menjemputku dari gelapnya hidupku.
Dan membuat ku berpikir bahwa hidup layak untuk dijalani.

Aku bermimpi bahwa cinta takkan pernah mati.
Aku bermimpi bahwa Tuhan kan mengampuni.
Aku berimajinasi liar akan hadirnya sosok dirimu.
Dan mimpi-mimpi itu dibuat, digunakan lalu dibuang.

Tak ada tebusan yang harus dibayar.
Tak ada lagu yang tak disenandungkan. Tak ada anggur yang tak dicicipi.
Namun kenyataan sesungguhnya datang di hari itu.
Dengan suara mereka yang selembut halilintar.
Saat mereka seketika mengoyak harapanku.
Saat mereka mengubah mimpiku menjadi rasa malu.

Kau selalu disiku.
Kau penuhi hari-hariku dengan ketakjuban tiada akhir.
Kau menghantarkanku pada kebahagiaan.

Tapi, kau pergi saat dia datang.
Dan bodohnya, masih saja kubermimpi kau kan datang padaku.
Bermimpi kau dan aku kan jalani tahun-tahun bersama.
Tapi, ada mimpi-mimpi yang tak mungkin terwujud.
Dan ada badai yang tak bisa kita atasi.
Kini hidup telah membunuh mimpi yang kumiliki.

Dua lelaki itu tengah gelisah di depan pintu yang bertuliskan Unit Gawat Darurat tersebut. Mereka sama-sama mencemaskan gadis yang tengah berbaring di dalam sana. Mereka sama-sama mengkhawatirkan gadis yang tengah berbaring disana, mereka takut jika–gadis yang mereka cintai tersebut akan mengalami hal buruk yang tentunya tidak mereka inginkan.

Lihatlah, begitu banyak yang peduli pada gadis itu. Ada banyak orang yang tengah menunggu hasil pemeriksaan dokter tentang keadaannya, ada banyak orang yang mengkhawatirkannya. Termasuk, dua lelaki ini.

“Apa yang sebenarnya terjadi pada Clarie?” lelaki keriting itu membuka percakapan. Oh lihatlah dia, dia begitu frustasi. Matanya memerah dan sedikit basah. Ditambah lagi, tangannya yang mencengkram erat rambut keriting kecoklatannya tersebut.

Lelaki di sebelahnya pun mengangkat kepalanya ketika mendengar pertanyaan dari lelaki yang di sebelahnya itu, Harry. Sekilas ia menatap Harry sebelum ia menghembuskan napas panjangnya, “Clarie terjatuh saat menuruni anak tangga.”

Harry menajamkan tatapannya pada lelaki itu, “Bagaimana bisa?!”

“Dia kehilangan keseimbangan saat menuruni anak tangga. Dan itu, membuat dia terguling hingga ke anak tangga terakhir.”

Mendengar itu, pun Harry langsung mengepalkan kedua tangannya. Tatapannya dengan tajam menatap lelaki yang di sebelahnya ini, Erlangga. Dengan satu gerakan, Harry menarik kerah seragam Erlangga. Memberikan tatapan intimidasinya pada Erlangga, “What the fuck, kau tidak becus menjaganya, brengsek! Kau sama sekali tidak berguna! Jika kau tidak mampu, biarkan aku yang menjaganya!” dengan emosi yang meluap-luap, Harry mengcengkram kuat-kuat kerah seragam Erlangga, matanya semakin memerah. Nafasnya juga terlihat memburu.

Whatevs you say, jerk.” dengan kasarnya Erlangga melepaskan cengkraman Harry pada kerah seragamnya, lalu Erlangga tersenyum menyeringai, “Tentu aku sangat becus menjaganya. Dan, kau pikir, Clarie mau jika kau yang menjaganya? Hm? Mengingat, Clarie lebih memilihku ketimbang kau.” ucap Erlangga santai namun terkesan meremehkan Harry.

Harry yang mendengarnya pun emosinya semakin meluap-luap. Dengan rusuh, Harry berdiri dari kursinya lalu mendorong Erlangga hingga punggung Erlangga terbentur oleh dinding.

“Jika kau becus, dia tidak mungkin terbaring disana, bangsat!” seru Harry dengan penuh penekanan disetiap kalimatnya. Dia lost control.

Alzheimer DiseaseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang