Aku dengan gelisah menunggu kedatangan Louis yang tidak kunjung-kunjung datang menjemputku. Ini sudah telat dua puluh lima menit dari janji yang sudah kami tentukan. Dan aku benci jika seseorang telat di situasi yang menengangkan seperti ini.
Aku mengumpat, lagi dan lagi. Seharusnya aku menyetir mobilku sendiri tanpa harus menunggu si Louis yang lamban itu. Ia sama saja membuang waktu dua puluh lima menitku dengan sia-sia. Dua puluh lima menit yang seharusnya ku manfaatkan untuk mencari Jenna, malah terbuang karena menunggu si bajingan Louis.
Sial.
"Louis belum datang, juga?"
Aku menoleh ke sisi kananku, disana ada Audie yang sedang bertanya dengan pertanyaan paling bodoh yang ada di muka bumi ini, "Menurutmu?"
"Tidak biasanya Louis telat seperti ini. Terlebih di dalam situasi seperti ini," katanya yang tidak percaya Louis bisa selelet ini menjadi seorang lelaki.
Aku mendengus, ucapan omong kosong gadis pirang itu tidak sama sekali membantuku.
"Apa aku tidak boleh ikut?" tanyanya, dengan bibir yang terkatup rapat. Seolah-olah ia terlalu takut untuk mengajukan pertanyaan tersebut.
"Audie," aku melengus panjang, sedikit kesal juga, "bukankah kemarin kita sudah membicarakannya, hm? Jadi jangan terlalu banyak bertanya."
"Tapi aku mau ikut! Bagaimanapun, Jenna itu sahabatku!" ia menyentak. Oh gadis pirang ternyata bisa arrogant juga.
"Walaupun kau sahabatnya, saudaranya bahkan ibunya sekalipun, aku tetap tidak mengizinkan! Kau wanita, paham? Aku tidak ingin dengan adanya kehadiranmu membuat semuanya kacau."
Audie dengan pupil matanya yang melebar, berkata, "Tapi aku menguasai jurus karate sabuk hitam, serius! Aku bisa membantumu, membantu kalian."
"Tidak. Wanita hanya bisa merepotkan nantinya. Apalagi, wanita hanya bisa berteriak bodoh ketika pertempuran dimulai. Tidak tidak, wanita itu pengacau!"
"HEY!" ia menyentak seraya memukul kepalaku menggunakan vas bunga yang entah dari mana ia dapatkan, "jaga ucapanmu, jerk. Tanpa wanita, kau tidak akan terlahir di dunia. Paham?"
Aku berdecak kesal lalu meninggalkannya. Menghiraukan omelan-omelan yang tercetus dari bibirnya yang tipis. Sial, dia membuatku semakin frustasi. Aku membuka ganggang pintu utama lalu terpekur sesaat ketika melihat mobil yang sangat kukenali bertengger di sana. Itu mobil Louis. Ah, lihat--dia telat setengah jam.
Baru saja aku ingin masuk ke dalam mobilnya, tiba-tiba saja Louis keluar dan di susul oleh---Kelvin?
Hah, Kelvin? Apa yang dilakukan Kelvin disini? Bukankah ia sedang ditugaskan ke Israel dalam misi pertempuran dunia itu?
"Kau...," aku menunjuknya, Kelvin hanya mendengus lirih. Seolah-olah, ia akan kehilangan sesuatu yang berharga di dalam hidupnya hari ini.
"Maaf, aku terlambat. Aku harus menjemput Kelvin terlebih dahulu," Louis, tanpa diminta ia langsung menjelaskan semuanya. Sejujurnya, aku tidak terlalu peduli dengan alasannya.
"Apa tidak ada kabar dari Jenna?" Kelvin bertanya, memecahkan keheningan diantara kami.
"Belum," aku menjawab, "belum ada perkembangan."
Kelvin mengusap-usap wajahnya yang terlihat lelah, sesekali ia meringis seolah-olah ia lah yang paling bersalah atas tragedi ini, "Ini semua salahku,"
Hah?
"Ini semua salahku," suaranya tercekat, "seharusnya aku tidak melibatkan Jenna."
Aku mengernyit, "Apa maksudmu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Alzheimer Disease
Fanfiction"Aku akan mengalami kematian mental sebelum kematian fisik. Aku akan melupakan segalanya segera. Nantinya, aku tidak akan tahu apa alasanmu untuk selalu bersamaku, mengapa kau masih bertahan disisi ku. Kau tahu? kau akan pergi dari pikiranku, Harry...