"Pelan-pelan.."
Aku mendudukkannya dengan sangat hati-hati, seolah-olah kalau aku salah gerak barang sedikitpun, aku akan melukainya. Setelah ia duduk, aku berlutut di hadapannya. Senyum getirku terukir. Entah bagaimana caranya, waktu begitu kejam. Menghunus segalanya dengan cepat, tanpa menyisakan sekeping memori yang berarti.
Dia, yang telah berjuang berbulan-bulan lamanya di rumah sakit, pada akhirnya ia sendiri menyerah. Kekuatan penyakit yang bersarang di tubuhnya, lebih kuat daripada kekuatan fisik serta mentalnya. Aku tahu, ia sudah berjuang semampunya, telah berusaha keras, meski hasilnya sama sekali bukan keinginanku, maupun dia.
"Bagaimana? Apa kau senang sudah berada di frat lamamu? Kau tidak tinggal di rumah sakit lagi, sekarang.." aku bersuara parau, netraku menatap lurus netra kosong miliknya. Tatapannya nyaris benar-benar kosong. Binaran yang bercahaya itu kini telah redup, menyisakan kekosongan yang nyata.
Dengan gerakan lamban, seolah slow motion, Jenna -gadis itu- menundukkan kepalanya, melihatku beberapa detik. Terdiam sejenak, sebelum akhirnya membuka suara.
"Iya, aku memang suka dengan ruangan ini. Benar-benar nyaman."
Perkataannya menghunus hatiku, tepat sasaran dan sangat tajam. Aku merasakan hatiku terkoyak saat mendengar responnya. Ini bukan pertama kalinya, Jenna salah menanggap atau melenceng dari pertanyaan yang diajukan kepadanya. Sejak dua hari yang lalu, Jenna benar-benar blank. Bahkan untuk berbicara dengannya pun terasa sangat sulit. Jenna yang sekarang, terlalu lamban untuk merespon. Bahkan, ia mungkin tidak mengerti maksud dari pertanyaanku.
"Hey, lihat bibirku," aku menyentuh dagunya, menariknya pelan ke bawah hingga kedua bola matanya menatap fokus ke bibirku, aku tersenyum. "Bagaimana? Apa kau senang sudah berada di frat lamamu? Kau tidak tinggal di rumah sakit lagi, sekarang.."Aku mengulang ucapanku sekali lagi, mata Jenna bergerak-gerak menatap bibirku yang berkomat-kamit. Setelah ia berdiam cukup lama, akhirnya ia menggeleng. Membuatku menghela napas panjang.
Mungkin ini salah satu cara Tuhan untuk melatih kesabaranku.
"Kita coba sekali lagi." kataku pelan.
Rasanya ... Sakit.
Hatiku serasa dicubit tanpa henti. Untuk sekedar berkomunikasi dengan dia, sangat memakan waktu yang lama. Dan itu hanya untuk satu kalimat. Melihat dia yang berada di kelinglungan itu membuat aku lebih sengsara dari sebelumnya. Ini mencekam. Perasaan ini, lebih parah perihnya.
"Lihat ini, okey.." aku menunjuk bibirku, ia mengangguk dan aku mulai membuka mulutku. "Bagaimana? Apa kau senang sudah berada di frat lamamu? Kau tidak tinggal di rumah sakit lagi, sekarang.."
Alisnya bertaut, kerutan di keningnya semakin dalam dan matanya nyaris menyipit mengamati gerakan bibirku serta menangkap suaraku. Lagi-lagi, aku merasa ditenggelamkan di samudra kesengsaraan. Sebegitu tersiksanya kah, dia? Untuk memahami satu kalimat mudah sekalipun, ia harus berjuang sedemikian kerasnya.
"Aku senang." ia bersuara pelan, menarik tubuhnya ke belakang lalu memijat keningnya pelan.
Aku tahu ini berat untuknya, terlebih untukku. Aku beranjak, salah satu tanganku bertumpu di sisi sofa, sedangkan tanganku yang bebas membantu memijit pelipisnya. Mungkin gadis itu pusing.
"Terimakasih, errm.." ia tampak kesusahan mengingat, benar saja, penyakitnya sudah membabat habis ingatannya. "Terimakasih.. Namamu siapa?"
Aku tersenyum getir, "Harry."
Ia terdiam beberapa detik.
"Terimakasih, Harry."
Aku mengangguk, melanjutkan pijitanku di pelipisnya. Mungkin wajahku tampak biasa saja, namun hatiku tidak. Hatiku memberontak, menolak takdir, menentang hidup yang tak adil.
KAMU SEDANG MEMBACA
Alzheimer Disease
Fiksi Penggemar"Aku akan mengalami kematian mental sebelum kematian fisik. Aku akan melupakan segalanya segera. Nantinya, aku tidak akan tahu apa alasanmu untuk selalu bersamaku, mengapa kau masih bertahan disisi ku. Kau tahu? kau akan pergi dari pikiranku, Harry...