Chapter 10

40.5K 2.5K 83
                                    

Disinilah, di sebuah desa terpencil di Amerika Serikat. Gadis berambut pirang itu tengah menatap kosong pemandangan gersang yang ada di hadapannya. Tatapan yang benar-benar kosong, seolah dia sudah tidak beraga lagi.

Semilir angin sore membuat kursi tuanya berdecit-decit pilu. Kicauan burung gereja menghiasi pendengarannya. Bibir gadis itu mengukir sebuah senyuman simpul. Namun, senyuman itu luntur tatkala ia tidak mendengar indahnya kicauan burung gereja itu lagi.

Dia Jenna. Jenna Axelle.

Menurut penduduk disini, gadis itu dicampakkan dan diasingkan dari keluarganya. Anggota keluarganya sudah tidak sanggup merawat Jenna yang berstatus mengidap penyakit Alzheimer tersebut.

Sementara yang hanya bisa dilakukan gadis itu hanya duduk di dalam rumah kayunya, ditemani dengan kursi tuanya yang sudah reot. Kata keluarganya, ia sudah tidak bisa mengenali siapapun lagi, tidak mengetahui apapun lagi. Jangankan untuk sekedar mengenali, mengetahui atau bahkan untuk sedekar mengingat, mengurus dirinya sendiri saja dia tidak bisa.

Dia benar-benar tidak bisa melakukan apa-apa. Dia persis seperti mayat hidup. Dia hanya menunggu saat sang maha kuasa memanggilnya untuk pulang menemui sang penciptanya.

Tak jarang, penduduk disini merasa iba dengan gadis yang baru saja menempati desa mereka tersebut. Maka tak jarang, penduduk disini bergantian untuk mengurusi Jenna, sekedar memberinya makan ataupun mengganti pakaiannya.

Miris sekali.

Gadis yang dulunya periang serta ceria, kini sudah berubah menjadi gadis yang pendiam yang tidak tahu-menahu, persis seperti orang linglung.



"HAAA!!" Jenna berteriak dengan kerasnya, membuat botol obat yang sedari tadi di genggam oleh Harry terjatuh begitu saja ke lantai.

Harry mengalihkan pandangannya pada Jenna. Jenna terlihat sedang mengatur napasnya yang tersenggal-senggal. Pelipis Jenna juga dibanjiri dengan bulir-bulir keringatnya. Entah apa yang baru saja gadis ini alami di alam mimpinya.

Jenna menoleh kesamping, "Harry.." Jenna memeluk pinggang Harry yang sedang berdiri di samping ranjangnya. Tangisnya pecah ketika berada di dalam dekapan Harry.

"Jen, ada apa?" Harry mengusap-usap pelan puncak kepala Jenna, namun yang ada tangisan Jenna semakin terdengar memilukan, membuat Harry bingung harus melakukan apa lagi untuk menenangkan gadis ini.

"Aku mimpi buruk." ucap Jenna pelan, ia masih sibuk mengatur napasnya yang semakin lama semakin memburu.

Harry melepaskan pelukan Jenna, lalu ia berjongkok untuk menyamai tingginya dengan Jenna yang sedang berada di atas ranjang. Harry memberikan tatapan teduhnya, mengisrayatkan bahwa semuanya akan baik-baik saja, namun Jenna menggeleng merespon isyarat yang diberikan oleh Harry.

"Hanya mimpi buruk, oke? Kau tidak perlu memikirkannya."

Jenna menggeleng cepat, "Tapi, aku takut, Harry! Mimpi tadi terasa begitu nyata dan aku-"

"Dan, buktinya itu hanya mimpi, kan?" sela Harry cepat, "Sudahlah, lebih baik sekarang kau tidur kembali. Itu hanya mimpi buruk yang tidak penting untuk kau pikirkan."

"Tidak, Harry. Mimpi itu-aku bermimpi bahwa semua orang tidak lagi menginginkan aku. Mereka semua membuangku. Mereka tidak peduli padaku. Dan pada akhirnya, aku menjadi gadis yang paling sengsara di desa itu. Aku benar-benar terlihat sangat mengerikan disana." Jenna kembali menangis, ia menundukkan kepalanya dan meremas-remas tangannya dengan gusar.

Harry yang prihatin dengan ketakutan Jenna, pun Harry meraih kedua tangan Jenna dan menggengamnya erat, "Tidak ada yang membuangmu. Mereka semua menyanyangimu. Sangat menyanyangimu." tutur Harry lembut, seketika kupu-kupu yang berada di perut Jenna pun berterbangan dengan riangnya. Nyatanya, ucapan Harry barusan mampu mengusir ketakutan Jenna akibat mimpi buruknya tadi.

Alzheimer DiseaseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang