Sejak kejadian itu. Sejak peristiwa itu. Sejak aku mengetauhi semuanya. Saat aku mengerti semuanya...
... Hidupku berubah.
Tak ada lagi kobaran semangat di dalam diriku. Tak ada lagi secercah harapan di dalam diriku. Tak ada lagi sebongkah keceriaan di dalam diriku.
Semuanya sirna bak ditelang sang bumi. Semuanya meninggalkanku secara bersamaan. Semuanya menghilang. Dalam sekejap saja, mereka semua meninggalkanku dengan sangat cepat, melebihi kecepatan cahaya sekalipun.
Aku hancur. Lebih hancur dari apa yang aku kira. Lebih hancur dari apa yang kubayangkan. Aku hancur selebur-leburnya untuk saat ini. Mentalku menciut, tubuhku ambruk tidak bertenaga. Aku, hilang.
Tidak ada tempat sanggahan. Tidak ada tempat peristirahatan. Tidak ada tempat untuk bernaung. Tidak ada yang mampu menampung deritaku. Tidak ada tempat untuk berkeluh-kesah. Tidak ada tempat untuk berbagi kesedihan yang mendalam. Tidak ada tempat untuk mengurangi sedikipun beban didalam hidupku.
Aku sendirian.
Dan aku benci mengakui itu.
Aku berjalan dengan tertatih-tatih menelusuri setiap koridor sekolahku. Tidak peduli tatapan-tatapan yang mereka tujukan padaku. Tidak peduli bisik-bisikkan mereka tentangku. Tidak peduli dengan mereka yang sibuk menceritakanku.
Sungguh, aku tak peduli. Dan tidak mau peduli.
"Jenna Axelle!"
Langkahku terhenti, tubuhku mematung ketika suara merdu itu memanggil namaku. Ahh ya, aku lupa! Ada seseorang yang masih bertahan untuk bersamaku, setidaknya sampai saat ini.
"Astaga, Jen.. Aku merindukanmu!" secepat kilat ia membawaku ke dalam pelukannya, memelukku dengan sangat erat.
"Kau kemana saja, huh?" dia melepaskan pelukannya, lalu menatapku jengah, "Seminggu, Jen. Seminggu! Hilang dan lenyap tanpa kabar. Kemana aja sih, Jen?"
"Hmm," aku memutarkan bola mataku, berusaha mencoba mencari jawaban yang dapat meyakinkan sahabatku ini, "Tidak kemana-mana. Hanya mengunjungi Bibi-ku di Bradford."
Alis matanya menaut, "Kau tidak berbohong?" dan secepat kilat aku menggeleng.
"Audie, bisakah kau antarkan aku ke kelasku? Hmm?" aku memberikan jeda sedikit, menelan ludahku terlebih dahulu, "Sepertinya setelah seminggu tidak menginjakkan kaki di Xtc membuatku lupa dimana letak kelasku." aku tertawa hambar setelahnya, aku sengaja menyelipkan nada humor di dalam ucapanku. Dan sejujurnya, aku memang melupakan letak kelasku. Melupakan lorong-lorong untuk menuju kelasku. Bahkan aku sedikit melupakan wajah para guru disini.
Aku tertegun. Ini bukanlah kelupaan semata. Bukanlah kelupaan sesaat. Bukanlah kelupaan biasa. Ini awal kelupaanku setelah mengetauhi penyakitku-ya ini awal dari semuanya. Awal dari penyakitku. Awal dari dampak penyakitku.
Aku harus memulai membiasakan diri untuk ini. Membiasakan diri akan penyakitku. Membiasakan diri akan dampak penyakitku.
"Ayo!" seru Audie yang mampu menyentakku ke dunia nyata, aku tersenyum getir dan mengganggukkan kepalaku, mengikuti kemana langkah kaki jenjangnya membawaku.
***
Dan di sinilah aku. Di ruangan yang sangat-sangat kubenci. Di ruangan yang sangat-sangat kujauhi dan ruangan yang ku black list dari kamusku kehidupanku.
Aku menatap nanar keadaan ruangan ini.
Ini adalah ruangan dimana ujian susulan dilaksanakan. Ujian susulan yang hanya kukerjakan sendirian. Tanpa melakukan persiapan apapun. Tanpa membaca buku sedikitpun. Seharusnya aku sudah tahu, kalau aku akan berakhir di tempat ini jika menginjakkan kakiku ke Xtc
KAMU SEDANG MEMBACA
Alzheimer Disease
Fanfic"Aku akan mengalami kematian mental sebelum kematian fisik. Aku akan melupakan segalanya segera. Nantinya, aku tidak akan tahu apa alasanmu untuk selalu bersamaku, mengapa kau masih bertahan disisi ku. Kau tahu? kau akan pergi dari pikiranku, Harry...