Hujan-1

22 8 14
                                    

Happy reading ❤️
________________

Derai hujan masih turun dengan deras sejak semalam. Derasnya hujan yang turun hingga membentuk beberapa genangan air di sekeliling rumah. Gumpalan awan seolah tak ingin berhenti mengguyur bumi dengan air yang sudah terlalu lama ditampungnya, dibawa ke sana kemari ke manapun angin menerpanya.

Langit yang biasanya akan berwarna cerah, kini menjadi kelabu. Dingin anginnya yang menusuk hingga ke tulang, tak ingin berganti peran dengan sang surya yang seharusnya kini sudah terbit di ufuk timur.

Hari ini adalah hari pertama Raina masuk sekolah sebagai siswa baru. Dengan adanya masa orientasi siswa, mengharuskannya untuk berangkat lebih awal dari biasanya. Hanya saja pagi ini sepertinya hujan sangat merindukan buminya hingga tak ingin berhenti sejak semalam.

Raina sudah siap dengan perlengkapannya. Seragam SMP miliknya yang berwarna putih biru sudah rapi ia kenakan. Name tag yang terbuat dari kardus dan tali rafia berwana merah sudah menggantung indah di lehernya. Pada name tag itu berisikan biodatanya sebagai siswa tahun ajaran baru.

Ketika hujan sudah mulai reda, Raina sudah siap dan berada di depan kamar kakaknya, menatap pintu kamar berwarna cokelat dengan ukiran kayu yang indah dan kokoh dengan perasaan kesal. Tangannya sudah lelah mengetuk pintu kamar sejak tadi yang sayangnya penghuni di dalamnya belum membuka pintunya.

"Kak Langit!!! Ayo berangkat!" teriaknya dari luar kamar.

Tidak ada jawaban dari dalam, yang terdengar adalah suara mesin mobil di garasi yang sedang dipanaskan.

Sebentar saja, Raina hanya ingin melihat bagaimana lusuh yang bercampur kesal dari wajah sang kakak ketika membuka pintu kamarnya. Laki-laki itu pasti akan menatapnya dengan tajam dan mengusirnya dari kamar, seperti biasanya.

Raina menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Harus dengan cara apa lagi untuk membuat kakaknya itu membuka pintu super megahnya dan mempersilahkannya masuk? Bahkan aura dingin yang mematikan dari sang pemilik kamar sudah merayap hingga ke ukiran kayu kokoh di hadapannya, dingin dan penuh misteri.

"Den Langit udah berangkat dari subuh, Non." Wanita paruh baya menghampiri Raina dan memberikan segelas susu kepada putri majikannya itu.

Kedua bola mata yang indah itu melebar mendengarnya, lalu decakan kecil keluar dari bibir tipisnya. Matanya bergerak menatap jam tangan yang melingkari pergelangan tangannya, hingga akhirnya ia menutup mulutnya karena terkejut.

"Rain udah telat, Bi! Rain berangkat dulu ya!" pekiknya sambil berlari menjauh.

"Non! Jangan lari-lari nanti Non Rain bisa capek!" teriak wanita tua itu. Namun, Rain tak menghiraukannya dan langsung masuk ke dalam mobil dengan sang sopir yang sudah siap.

🌧️🌧️🌧️

Raina menghela napasnya panjang ketika sudah menginjakkan kakinya di depan gerbang sekolah. Bukan karena rintikan air hujan yang masih tersisa, hanya saja jarak rumahnya dengan sekolah yang terlalu jauh sehingga membuatnya sedikit terlambat.

Langit masih dihiasi gumpalan awan hitam yang mungkin sebentar lagi akan turun hujan. Beruntunglah karena pagi ini udara menjadi dingin dan sang surya tidak menampakkan diri sehingga jika dirinya mendapatkan hukuman berjemur di tengah lapangan tidak akan merasa lelah dan kepanasan.

"Jongkok, Dek!"

Hanya tiga menit saja membuat Raina harus menuruti perintah dari senior. Mau bagaimana lagi? Ia sudah terlambat bahkan di hari pertamanya masuk sekolah.

Dari tengah lapangan ada beberapa siswa yang berteriak dan memintanya untuk lebih cepat menuju lapangan. Jarak pintu gerbang dengan lapangan tidaklah dekat, ditambah lagi dengan dirinya yang berjalan jongkok membuat langkahnya semakin lambat.

Hujan Yang HilangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang