Happy reading ❤️
________________Langit memainkan bola basket dalam genggamannya. Mendribble bola berwarna oranye itu beberapa kali sebelum akhirnya melakukan shooting dan berhasil masuk ke dalam ring. Peluh sudah membasahinya hingga membuat tubuhnya tercetak jelas dari balik jersey yang ia kenakan.
Shooting yang cukup memuaskan, ia mendapatkan tiga poin karena lemparannya yang dari jarak jauh itu. Kembali Langit meraih bola tersebut dari genggaman Angkasa kemudian membawanya mendekat pada Pandu dan diberikan oleh laki-laki itu.
Walaupun perutnya masih sedikit keram setelah berlari, tetapi hal itu tidak membuatnya berhenti untuk menyelesaikan permainannya.
"Baru sembuh udah belagu lo," ucap Pandu kepada Langit sambil terkekeh.
Langit mengedikkan bahunya dan masih dengan napas memburu. "Bosen gue."
"Yaelah pake bosen segala anak sultan satu ini," cibir Angkasa. "Ah iya, mereka orang nggak mau diajakin main juga? Dari tadi cuma ngobrol di sana, mendingan latihan dasar."
Langit menatap adik-adik kelasnya yang belum beranjak dari tempatnya. Mereka masih sibuk satu sama lain dan sesekali ada yang melakukan pemanasan. Baginya tidak ada yang menarik, biarlah mereka yang memulai apa yang ingin mereka pelajari. Ia tak perlu repot-repot mengeluarkan tenaganya hanya untuk mengajari adik-adik kelasnya itu.
Berbeda dengan Langit yang bersikap acuh, Pandu justru bersemangat untuk mengajari mereka semua. Sepertinya masih ada beberapa murid yang belum mendalami dasar-dasar dalam permainan basket.
"Ayo, Dek, bangun!" pinta Pandu setengah berteriak. Ia kemudian menggerakkan tangannya dan mengisyaratkan kepada mereka semua untuk mendekat.
"Kita bagi kelompok dulu. Buat yang dulunya di SMP ikut basket, kalian sama Kak Langit," ucap Pandu.
Langit menatap Pandu dengan bingung. "Kok gue?"
"Diem dulu!" Pandu kemudian beralih menatap adik-adik kelasnya. "Terus yang kalian semua yang baru gabung langsung ikut Kak Angkasa ya. Paham?"
"Paham, Kak."
"Cakep!"
Mereka semua bergegas menuju Langit dan Angkasa. Langit pasrah, menghela napasnya panjang kemudian menuju bangku untuk beristirahat sejenak. Perutnya terasa keram dan membuatnya sedikit meringis. Ternyata setelah permainan selesai rasa sakit itu semakin bertambah. Langit baru ingat bahwa ayahnya itu bertangan ringan yang dimana ketika sudah memukul pasti sakitnya akan bertahan lama.
"Sebentar," ucap Langit kepada adik kelasnya. Ia kemudian duduk dan menenggak air minumnya.
Mereka pun mengerti dan memilih untuk berlatih sendiri lebih dulu sembari menunggu Langit yang sedang beristirahat. Sementara itu, Angkasa sudah mengambil alih adik kelasnya yang akan ia ajari.
"Yang bener, Sa. Nanti pulangnya gue beliin pop ice!" seru Pandu sambil tertawa.
"Lo kira gue bocah apa!" sengit Angkasa. "Lo sendiri ngapain? Itu bola basket bukan bola voli."
"Nggak peduli. Anyway, pake bola basket lebih mantep." Pandu terus melakukan passing dengan bola basketnya.
"Berat kali, nggak enak."
"Terserah gue. Udah sana urusin adek kelas lo tuh."
Angkasa mendengus kemudian menatap Fajar yang masih duduk di pinggir lapangan sambil memainkan ponselnya.
"Jar!!!" panggil Angkasa dan Fajar menoleh. "Habis ini gantian, gue mau minum dulu soalnya."
"Minum tinggal minum nggak usah berisik!" balas Fajar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hujan Yang Hilang
أدب المراهقينSeperti namanya, Raina sangat menyukai hujan. Suaranya yang merdu saat bersentuhan dengan atap-atap rumah begitu menenangkan. Kepada hujan Raina menitip salam, tentang kerinduannya kepada Tuhan, mencoba bertahan untuk jiwa-jiwa yang tenang dan kedam...