Hujan-11

3 3 0
                                    

Happy reading ❤️
________________

Semburat warna jingga menghiasi cakrawala. Ditemani oleh awan yang membentuk gumpalan indah, sinar sang surya perlahan mulai meninggalkan bumi. Sunyi mulai menghampiri, segenap staf pengajar juga sudah mulai pulang ke rumah masing-masing.

Banyak pelajaran yang Raina dapatkan hari ini, terutama di ekskul yang ia ikuti. Ia mulai membiasakan diri dan beradaptasi dengan lingkungan barunya. Ternyata, dirinya yang lemah masih sangat sulit untuk bisa melangkah lebih jauh seperti teman-temannya.

Seperti saat latihan tadi, dengan tidak hati-hatinya, ia terjatuh saat belajar memasukkan bola ke dalam ring. Hal itu membuat lututnya sedikit memar. Pun dengan dadanya yang tiba-tiba terasa sesak, itu semakin membuatnya kalang kabut. Ia tidak mau gagal di hari pertamanya latihan, terlebih lagi ada Langit yang juga sejak tadi mengawasinya.

Rasa takut itu mulai muncul ketika Langit melihat dirinya yang terus menunduk sambil menekan dada kirinya menahan sesak. Laki-laki itu bisa saja membocorkan kepada ibunya bahwa ia mengikuti ekskul basket ini.

Raina membawa langkah beratnya menuju parkiran setelah mengirimkan pesan kepada ayahnya bahwa ia akan pulang bersama dengan Langit. Raina tahu, mungkin ayahnya sedang bingung juga mengapa dengan tiba-tiba ia mengirimkan pesan tersebut.

Hari ini memang cukup melelahkan baginya, tetapi semua itu semakin membuatnya tak sabar untuk tibanya hari esok. Sebagai siswa baru, berangkat ke sekolah adalah hal yang paling disukainya. Ia sangat semangat karena ia siswa baru yang masih perlu beradaptasi dengan lingkungan sekolah.

"Kak Langit!" Raina langsung menghampiri Langit yang sudah memakai helmnya.

Langit yang tidak tahu kedatangan Raina sedikit terkejut saat dengan cepatnya gadis itu sudah duduk di jok motornya, memeluk pinggangnya dengan erat seperti anak kecil yang takut terjatuh.

"Lepas," desis Langit sambil mencoba melepaskan tangan Raina.

Raina menggeleng. "Nggak, aku mau pulang sama Kakak!" ucapnya semakin mengeratkan pelukan.

Langit mendengus kesal. Ia melirik wajah Raina dari spion motornya. Gadis itu menyembunyikan wajahnya di balik punggungnya yang basah oleh keringat. Langit merasa risih dengan tingkah Raina dan langsung melepaskan tangan Raina dengan kasar.

"Turun. Gue nggak mau pulang sama lo," ucap Langit dingin.

Raina berdecak. "Nggak boleh kasar sama adik sendiri dong, Kak. Aku 'kan cuma mau bareng sama Kakak."

"Gue bukan Kakak lo!" tegas Langit.

Sudah berulang kali Langit menegaskan kepada Raina bahwa dirinya bukanlah kakaknya dan tidak akan pernah menjadi kakaknya. Raina hanyalah sebuah beban yang sulit dilepaskan dari dalam hidupnya dan Langit sangat membencinya.

Berbeda dengan Langit yang sudah kembali menyalakan api dalam dirinya, Raina justru terkekeh kecil mendengar ucapan laki-laki itu. Mau sebanyak apapun Langit mengatakan bahwa ia bukan adiknya, Raina sudah sadar akan hal itu. Maka dari itu, ia tidak pernah berhenti untuk meyakinkan kepada Langit bahwa memiliki saudara tiri bukanlah hal yang buruk.

"Iya, aku juga sayang kok sama Kakak. Ayo pulang!" Raina kemudian kembali melingkarkan tangannya pada perut Langit.

"Lepasin tangan lo!" sentak Langit.

"Nggak bisa, nanti kalo Rain jatuh emangnya Kak Langit mau tolongin?"

"Males."

"Makanya, mendingan Rain pegangan sama Kakak."

"Gue nggak mau pulang sama lo. Turun sekarang!" Langit sudah kesal dibuatnya.

Raina menggeleng. "Nggak mau!"

Hujan Yang HilangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang