Happy reading ❤️
________________Menjalani hidup dengan penuh kedamaian dan cinta kasih sayang adalah impian semua orang. Begitu juga dengan Raina, ia menginginkan hidupnya yang dipenuhi oleh suka cita sehingga ia dapat membagikan kasih sayangnya kepada semua orang.
Langit biru kembali kelabu, diiringi embusan angin yang menggerakkan sebuah antena yang tak jauh dari jendela ruang inap Raina. Hujan mungkin sebentar lagi akan turun, terlihat dari gumpalan awan yang bergerak lambat menutupi langit dengan mega hitamnya yang pekat.
Suasana seakan mendukung perasaan Raina kali ini. Persoalan yang terjadi kemarin malam tentu membuat batinnya sedikit terguncang. Langit, pasti laki-laki itu jauh merasakan sakit daripada dirinya, melihat kedua orang tuanya harus bertengkar karena mereka berdua. Rasa benci akan dirinya sendiri mulai timbul ketika kembali mengingat bahwa Langit sakit hati karenanya dan juga kedua orang tuanya yang bertengkar di depan matanya.
"Ngawasin? Urusin aja anak kesayangan Papa yang penyakitan itu."
Rasanya begitu sesak ketika ucapan Langit kembali terngiang di telinganya. Raina menatap langit-langit kamar rumah sakit, menerawang jauh tentang apa yang akan terjadi setelah ini. Akankah Langit kembali hancur ataukah dirinya yang tidak akan pernah bisa melihat wajah Langit?
Ia pun tidak tahu apa yang akan terjadi esok hari. Raina tidak menyerah setelah kejadian kemarin malam, hal itu justru membuatnya semakin gencar untuk merobohkan dinding pertahanan yang dibangun oleh Langit. Hati laki-laki itu sekeras batu yang sulit untuk dipecahkan. Langit, hitam kelabu yang selalu menyelimuti kehidupannya seolah enggan pergi dan akan selalu bersemayam di dalam dirinya.
"Sayangku!!! Gimana kabarnya?!!!"
Raina menoleh, mendapati Bintang yang masuk bersama dengan teman-temannya yang lain. Gadis itu kemudian meletakkan sekeranjang buah di atas nakas, disusul oleh Bulan yang juga meletakkan satu kotak kue.
"Giman kabarnya? Kok gue nggak tau sih kalo lo sakit?" tanya Bintang begitu duduk di brankar.
"Aku nggak sakit, cuma numpang tidur aja," balas Raina sambil terkekeh.
Bibir Bintang mengerucut sebal. Gadis itu kemudian merentangkan kedua tangannya. "Kangen."
Raina tertawa melihatnya. Bintang mengembalikan moodnya yang sebelumnya sempat hilang. Ia kemudian membalas pelukan gadis itu dan Bulan ikut berhamburan ke pelukannya.
"Kangen Rain," lirih Bulan.
"Aku 'kan cuma nggak berangkat sehari, besok udah berangkat lagi kok." Raina kemudian melepaskan pelukannya.
Raina mengubah posisinya menjadi duduk. Rasa malas yang sebelumnya bergelayut manja di dalam dirinya kini sudah hilang berganti semangat setelah kedatangan teman-temannya. Raina tidak dapat berbohong bahwa dirinya juga merindukan teman-temannya walaupun hanya sehari mereka tidak bertemu. Suasana rumah sakit yang sepi dan hanya ditemani dengan suara pendingin ruangan membuat Raina merasa jenuh dan suntuk.
"Kok Banyu nggak diajak, sih? Banyu 'kan mau ikutan juga, emangnya Rain nggak kangen sama Banyu?" tanya Banyu dengan tatapan polosnya.
"Apaan sih? Lebay banget, geli tau nggak!" sewot Bintang.
Banyu memutar bola matanya malas. Ia masih kesal dengan Bintang karena gadis itu sudah menyembunyikan helmnya sebelum mereka berangkat ke rumah sakit.
"Rain juga kangen kok sama Banyu. Sini!" Raina merentangkan tangannya dan menyambut pelukan hangat Banyu. Tidak salah ia memeluk laki-laki itu, karena selain tubuhnya yang besar, Raina juga seperti merasa hangat dan aman.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hujan Yang Hilang
Teen FictionSeperti namanya, Raina sangat menyukai hujan. Suaranya yang merdu saat bersentuhan dengan atap-atap rumah begitu menenangkan. Kepada hujan Raina menitip salam, tentang kerinduannya kepada Tuhan, mencoba bertahan untuk jiwa-jiwa yang tenang dan kedam...