Happy reading ❤️
________________Langit biru menghiasi cakrawala dengan lukisan awannya yang indah. Senja memenuhi langit dengan warna jingganya. Pemandangan indah yang paling dinantikan oleh semua orang sebelum datangnya kegelapan yang menelan cahaya sang surya.
Akhir hari kali ini Langit habiskan dengan mempelajari semua materi di beberapa bukunya bersama dengan Bintang yang sejak tadi berkutat dengan soal-soalnya. Dibandingkan dengan gadis itu, Langit memilih untuk mempelajari materinya terlebih dahulu agar memudahkannya untuk menjawab soal-soal. Tak jarang juga Bintang bertanya mengenai cara penyelesaian dari salah satu soalnya.
Jika dipikir kembali, baru kali ini Langit merasa bingung dengan apa yang telah terjadi. Mengapa di usianya yang masih terbilang remaja dirinya sudah harus mengalami semua ini? Masalah dalam hidup memang tidak pernah ada ujungnya, dan Langit merasakan hal itu sejak dulu. Entah keadaan yang memang memaksanya untuk dewasa sebelum waktunya, atau dirinya sendiri yang memang enggan untuk melepaskan masalah tersebut.
Langit menjadi tidak fokus, selalu tentang keluarganya yang ia pikirkan. Walaupun sebenarnya dirinya sudah tahu akan berakhir seperti apa, tetapi pikiran itu selalu hinggap di benaknya dan memenuhi isi pikirannya, menjadikan semuanya kalut dan berakhir pada goresan yang dalam pada hati kecilnya.
"Pulang ya, Bin. Besok lagi." Langit membereskan buku-bukunya.
Bintang mengangguk. "Nanti malem nggak lanjut?"
"Mau kepalanya panas?" tanya Langit sedikit meledek.
Bintang menggeleng keras. Mengerjakan lima soal dalam sepuluh menit saja masih membuat kepalanya terasa sakit. Ia tidak mau jika nanti rambutnya akan tumbuh uban lebih dulu di usia mudanya. Bintang tidak mau.
Langit berpamitan kepada Bintang kemudian pulang ke rumahnya. Guratan jingga itu terlukis begitu indah menghiasi cakrawala sebagai penutup harinya yang penuh dengan rasa lelah. Kepalanya mendongak, menatap langit biru yang berbaur dengan guratan jingga itu.
Hari yang cukup melelahkan bagi Langit untuk menuntaskan tugas-tugasnya. Kini ia sudah memasuki kelas sebelas yang dimana satu tahun lagi ia naik ke kelas dua belas, waktu dimana dirinya dan semua murid harus berlomba-lomba untuk memperbanyak pemahaman materi sebelum datangnya ujian.
Memasuki rumah dan langsung menuju kamarnya, Langit menatap pintu kamar Raina yang sedikit terbuka. Gadis itu tidak terlihat di sana, tetapi lampu kamarnya itu menyala dengan terang. Terdengar suara Raina yang sedang berbicara, tetapi tidak tahu berbicara dengan siapa.
Langit mengedikkan bahunya acuh kemudian membuka pintunya. Lagi pula untuk apa dirinya mencampuri urusan Raina dan apa yang sedang dilakukan oleh gadis itu.
Seakan dunia tidak mengizinkannya untuk beristirahat, Langit harus kembali bangun walaupun baru saja merebahkan tubuhnya di atas kasur. Ia berdecak, tentu saja sedikit merasa kesal dengan siapa yang sudah mengetuk pintu kamarnya. Ia kemudian berjalan mendekati pintu dan membukanya.
"Apa?" tanya Langit malas kepada Raina yang berdiri di depannya.
"Anu..." Raina berpikir sejenak. Semua pikiran yang ingin dikatakannya tiba-tiba menguap begitu saja, membuatnya kesal karena sering lupa dengan apa yang ingin dikatakannya.
"Cepetan!" desak Langit.
"Ah, iya?" Raina menjentikkan jarinya. "Rain mau ajakin Kak Langit tanding kali ini."
Sungguh rencana apalagi yang disusun oleh Raina demi mendapatkan perhatian dari Langit? Seperti tidak pernah kehabisan akal untuk terus berada di dekat Langit, Raina selalu merencanakan hal yang konyol. Seperti kali ini, sore menjelang Maghrib ini gadis itu mengajak Langit untuk bertanding.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hujan Yang Hilang
Ficção AdolescenteSeperti namanya, Raina sangat menyukai hujan. Suaranya yang merdu saat bersentuhan dengan atap-atap rumah begitu menenangkan. Kepada hujan Raina menitip salam, tentang kerinduannya kepada Tuhan, mencoba bertahan untuk jiwa-jiwa yang tenang dan kedam...