Hujan-2

8 5 1
                                    

Happy reading ❤️
________________

Langit sore masih diliputi awan hitam yang enggan berpindah sejak pagi tadi. Tidak ada tanda-tanda akan turun hujan, hanya hitamnya yang menyelimuti bumi. Bunyi guntur terus bersautan tanpa henti, mungkin beberapa hari ke depan akan terus seperti ini.

Suasana yang mendung dan dingin seolah mendukung perasaan Langit saat ini. Laki-laki itu duduk di bangkunya dengan tenang sambil terus memandang ke luar kelas dari balik jendela. Dinginnya angin yang terus membelai kulitnya sama sekali tak dihiraukan.

Sosok laki-laki dengan raut wajah yang sulit dibaca, pendiam dan penuh misteri. Banyak murid yang mengagumi sosoknya karena kepiawaiannya dalam memainkan bola berwarna oranye itu. Memiliki banyak teman dari setiap organisasi yang diikutinya, hanya saja tidak ada satu pun yang dapat memahami perasaan laki-laki itu.

Mereka bukannya malas untuk bertanya-tanya mengenai banyak hal atau berusaha mencuri perhatian dari sang bintang sekolah. Hanya saja, setiap kali ada yang mendekat Langit sudah membungkam setiap pertanyaan mereka hanya dengan tatapannya. Bibirnya jarang berucap tapi tidak dengan sorot matanya.

Seperti saat ini misalnya, dirinya sama sekali tidak mempedulikan teman-temannya yang sedang sibuk mengobrol mengenai apa saja yang akan mereka lakukan untuk mengatur jadwal kegiatan MOS hari kedua besok. Namun, suara dari Angkasa membuat telinganya tidak tahan untuk tidak mendengarkan ucapan laki-laki itu.

"Gue masih agak ngerasa aneh sama adik kelas tadi yang ngaku-ngaku adeknya Langit," ucap Angkasa dan mendapatkan anggukan mantap dari Pelangi.

"Biasalah, caper dia. Liat yang ganteng sedikit langsung senggol," sarkas Pelangi.

"Kayak lo berarti?" ejek Jingga kepada Pelangi.

"Dih, kok jadi gue?" protes Pelangi.

"Tapi emang bener dia adek lo, Lang?" tanya Fajar menatap Langit yang bergeming di tempatnya.

Jemari tangan Langit mengetuk-ngetuk di meja hingga menimbulkan irama yang senada. Tatapannya masih belum beralih dari pemandangan di luar kelas dan tidak peduli dengan pertanyaan yang dilontarkan oleh Fajar kepadanya. Langit rasa ia tidak perlu menjawab pertanyaan yang membuatnya muak bila mendengarnya.

Pikirannya kembali dipenuhi dengan kejadian saat di kantin tadi. Sial. Berulang kali Langit mencoba untuk menjauhi gadis itu. Dadanya terasa sesak ketika melihat wajah lugunya yang selalu ceria dengan senyuman yang merekah. Langit tidak pernah menganggapnya sebagai saudara, bahkan untuk sekedar identitas keluarga saja Langit sama sekali tidak mau mengakuinya.

"Lo kenapa, sih? Dari tadi diem aja perasaan, apalagi kita udah bahas tentang adik kelas yang ngaku-ngaku adek lo itu. Emangnya lo nggak risih apa digituin?" tanya Pelangi.

"Iya, Lang. Dari sekian banyaknya adik kelas cuma dia yang berani ngomong begitu, apalagi sama kita yang senior. Nggak sopan banget. Udah gue tandain itu anak, siapa namanya? Raina?" sahut Jingga dengan menggebu-gebu.

Gadis itu sudah geram dengan sikap Raina yang tidak sopan di hari pertamanya masuk sekolah. Jika dulu pada zamannya tidak ada satu pun siswa yang berani mengatakan hal itu, bahkan hanya sekedar menatap mata senior saja mereka tidak berani.

"Tapi gue salut sih sama tanggung jawab dan keberaniannya. Waktu Fajar tanya dia langsung jawab dengan mantap, apalagi motto hidupnya yang menurut gue keren buat bocah seumuran dia." Berbanding terbalik dengan Pelangi dan Jingga, Angkasa justru banyak memuji Raina.

"Heleh! Palingan juga itu buat nyari simpati dari kakel, adek kelas modelan kayak gitu gue udah tau banget sifatnya. Suka caper sama kakel, lo 'kan tau sendiri gimana anak OSIS yang jelas-jelas ganteng semua."

Hujan Yang HilangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang