Hujan-17

7 3 0
                                    

Happy reading ❤️
________________

Langit menerima sebuah map yang diberikan oleh Fajar. Ia membukanya dan membacanya dengan tenang. Sementara Fajar, laki-laki itu menarik bangku di sebelah Langit dan duduk di sana. Ruangan OSIS yang hanya berisikan mereka berdua membuat suasana menjadi hening, terlebih lagi dengan Langit yang memiliki sifat dingin dan irit bicara.

"Itu program kerja struktur tahun lalu, lo simpen ya. Kalo di gue takutnya ketimpa sama berkas-berkas lain," ucap Fajar.

"Biar apa?" tanya Langit.

"Biar aman." Fajar kemudian menarik laptop Langit dan melihat-lihat apa yang sedang dikerjakan oleh laki-laki itu.

"Kenapa gue? Lo ketosnya."

"Lo 'kan sekretarisnya."

Langit mengangguk singkat kemudian meletakkan map tersebut di atas meja. Ia beralih membuka ponselnya dan memainkan benda pipih itu, mengabaikan Fajar yang terus mengotak-atik laptopnya.

"Lang, malem ini lo sibuk nggak?"

"Kenapa?"

"Main tempat Angkasa. Gue bosen di rumah terus."

"Males."

"Dih, kenapa lo?"

Langit menghela napasnya. Fajar seperti tidak mengenal dirinya saja yang jarang keluar rumah jika bukan urusan penting. Sangat jarang sekali dirinya keluar atau bermain bersama dengan teman-temannya seperti remaja-remaja lain. Ia lebih suka menghabiskan waktunya di rumah, mengurung dirinya di kamar dan menciptakan dunianya sendiri.

Sebenarnya Langit juga ingin seperti teman-temannya yang dimana seusianya mereka semua sudah masuk ke dalam kesenangan masa-masa remaja, menikmati masa-masa remaja yang indah. Langit juga menginginkan hal itu, tetapi ada hal yang menurutnya jauh lebih penting dibandingkan dengan kesenangan saja.

"Males aja."

Fajar berdecak. Langit sulit sekali untuk diajak keluar dan bermain bersama dengan teman-teman yang lain.

"Males terus lo kalo urusan nongkrong, nggak bosen apa lo di rumah terus? Ayolah, Lang. Sekali aja ikut kumpul," bujuk Fajar.

Langit bergumam. "Biar apa sih? Tidur aja udah, buang-buang waktu amat."

Fajar meringis mendengarnya. Sepertinya pemikiran antara anak biasa dengan yang ambisius memang berbeda. Berkumpul bukannya membuang-buang waktu tetapi meluangkan waktu, dan sepertinya Langit memang tidak bisa meluangkan sedikit waktunya untuk berkumpul bersama teman-temannya.

"Bisa aja lo, Lang. Kenapa sih nggak pernah mau ikut? Karena duit bokap lo lebih banyak makanya lo gengsi kalo nongkrong sama kita yang cuma di warung kopi sambil numpang Wi-Fi?"

"Ngaco lo."

"Faktanya, 'kan?" Fajar mendecih. "Emang dasarnya dari dulu lo kayak gitu makanya sampe sekarang lo nggak pernah akrab sama kita semua."

Langit menatap Fajar bingung. "Lo ngomong apa sih? Nggak jelas banget."

"Gue tau lo gimana dan anak siapa, Lang. Identitas lo emang masih bisa disembunyikan sedangkan bokap lo nggak, makanya semua guru nggak berani macem-macem."

Memasuki perbincangan yang menjadi panas, Langit semakin tidak mengerti dengan apa yang dikatakan oleh Fajar mengenai dirinya. Jujur saja ucapan laki-laki itu begitu menjadi tamparan keras baginya. Terlihat adanya kecemburuan dalam nada bicaranya.

Langit tidak seperti yang Fajar pikirkan, tentang dirinya yang lebih memilih untuk menyendiri dan menekankan pada belajarnya daripada harus menghabiskan waktunya dengan hal-hal yang menurutnya kurang bermanfaat.

Hujan Yang HilangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang