Happy reading ❤️
________________Langit berubah menjadi gelap, kelabu menyelimuti awan hingga gumpalan hitam itu menghalangi sinar matahari. Diikuti gemuruh guntur yang ikut bersahut-sahutan. Hujan akan turun deras sore ini. Harapan senja untuk hadir menghiasi cakrawala untuk menutup hari sudah hilang.
Ketika setitik air yang tak dapat lagi dibendung oleh mega hitam itu, diikuti dengan rintikan yang semakin deras, menyentuh kembali bumi yang menjadi pijakan Raina. Segera ia menuntun langkahnya dengan cepat untuk melindungi diri dari hantaman air yang seperti kristal yang jatuh itu.
Raina menatap derasnya hujan yang kini sudah membasahi bumi. Menghujam dengan keras hingga percikan airnya mengenai sepatu dan kaos kakinya. Jalanan aspal depan sekolah itu sudah basah, kendaraan yang sebelumnya berlalu-lalang pun mulai sepi. Kini hanya dirinya seorang yang masih berada di sekolah hanya untuk menunggu Pak Rudi menjemputnya.
"Papa di mana?" tanya Raina setelah menghubungi ayahnya dari balik telepon.
"Maaf, Sayang. Tadi jalanan macet parah karena jam pulang kantor, jadi sekarang Papa masih di jalan. Sepuluh menit lagi sampai."
"Papa sendirian?"
"Nggak, sama Pak Rudi ini. Kakak nggak ngajak kamu pulang bareng? Papa tadi liat dia udah pulang duluan di rumah."
Raina mengulum bibirnya dengan perasaan bingung. Langit bahkan tidak pernah menemuinya di kelas dan mengajaknya untuk pulang bersama. Laki-laki itu pasti sudah sibuk dengan urusannya sendiri dan tidak ingin jika jok motornya yang bersih itu diduduki oleh dirinya yang sangat dibenci oleh laki-laki itu.
"Rain? Kok diem? Kakak kamu nggak ngajakin kamu pulang tadi?"
Raina menjauhkan ponselnya dari telinga. Suara berat yang hampir hilang diredam suara hujan itu begitu membuat hatinya gelisah. Sebesar apapun kasih sayang yang diberikan oleh Guntur kepada Raina, itu semua masih kurang jika dibandingkan dengan hanya menatap wajah Langit. Raina menjadi merasa serba salah. Jika ia berbohong kepada Guntur dan mengatakan bahwa Langit sebenarnya sudah mengajaknya tetapi ia tolak, ayahnya itu tidak mungkin percaya. Dan jikapun dirinya jujur dengan mengatakan bahwa Langit tidak pernah menawarkan untuknya ataupun memberikan tumpangan, maka kakaknya itu akan mendapatkan masalah besar.
Tidak mendapatkan respon dari putrinya, Guntur menghela napasnya panjang. Mobil yang kini dikendarai oleh Pak Rudi sudah hampir mendekati pagar sekolah. Diamnya Raina ternyata sangat lama sehingga sepuluh menit yang sebelumnya ia janjikan kepada gadis itu telah usai.
Guntur memutuskan sambungan secara sepihak kemudian keluar dari mobil menggunakan payung. Ia menuntun Raina untuk masuk ke dalam mobil kemudian Pak Rudi melajukan mobil meninggalkan sekolah.
"Nggak ada yang nungguin lagi di sana selain kamu?" tanya Guntur sambil mengusap sebagian wajah Raina yang basah.
"Nggak tau, aku keluar udah sepi, mungkin karena mau hujan makanya mereka langsung pada pulang. Yang nunggu jemputan juga cuma sedikit, Pa, yang lainnnya udah pada bawa kendaraan sendiri-sendiri," jawab Raina.
Guntur mengangguk kemudian memberikan sebotol air kepada Raina. "Diminum dulu, suara kamu serak itu. Apa tadi sempat kehujanan?" tanyanya.
Raina mengangguk di balik kegiatannya yang menenggak air minum. Guntur yang melihat itu menghela napas berat. Tangannya terulur untuk mengusap wajah putrinya yang terlihat lesu.
"Itulah kenapa Papa nggak mau kamu main hujan-hujanan. Kamu itu kena air hujan sedikit aja udah pucat, apalagi kalo sampe hujan-hujanan."
"Nggak kok, Pa. Rain 'kan nggak pernah hujan-hujanan. Pegang airnya aja nggak dibolehin sama Papa."
KAMU SEDANG MEMBACA
Hujan Yang Hilang
Teen FictionSeperti namanya, Raina sangat menyukai hujan. Suaranya yang merdu saat bersentuhan dengan atap-atap rumah begitu menenangkan. Kepada hujan Raina menitip salam, tentang kerinduannya kepada Tuhan, mencoba bertahan untuk jiwa-jiwa yang tenang dan kedam...