Hujan-20

4 3 0
                                    

Happy reading ❤️
________________

Guntur duduk tak tenang di tempatnya sembari menatap dokter Rizwan yang sedang memasangkan oksigen konsentrator untuk Raina. Gadis itu terus mengeluhkan dadanya yang sesak tetapi enggan untuk dibawa ke rumah sakit. Alhasil, dengan bantuan dokter Rizwan gadis itu tidak merengek seperti sebelumnya.

"You hear me, Raina?" tanya dokter Rizwan.

Dengan setengah kesadarannya, Raina mengangguk pelan sambil menghirup oksigen. Dokter Rizwan tersenyum kemudian mengusap kening Raina dengan lembut sedangkan Guntur kini berjalan mendekat.

"Tell me what happened. Does this still hurt?" Dokter Rizwan menyentuh dada kiri Raina yang terbalut sweater rajut.

Raina mengangguk. "Not really."

Guntur menatap khawatir pada Raina yang mencoba untuk membuka matanya agar tidak tertidur. Efek samping dari obat yang beberapa menit diminumnya membuat gadis itu mengantuk. Dokter Rizwan sengaja menambahkan dosis pada obat Raina, mengingat kondisi gadis itu yang semakin menurun.

Guntur semakin dibuat bersedih setelah mengetahui bahwa penyakit asma yang diderita oleh Raina yang juga ikut memperburuk kondisi gadis itu, belum lagi penyakit jantung yang dideritanya.

Guntur hampir pasrah, tetapi melihat semangat dan kegigihan Raina untuk bangkit dan sembuh membuatnya sadar bahwa putrinya itu adalah gadis yang kuat. Raina akan tetap tersenyum dalam kepedihan dan rasa sakit yang dirasakannya begitu dalam.

Sebuah kabar yang ia dapatkan dari Bi Dian yang mengatakan bahwa penyakit Raina kambuh hingga membuat gadis itu pingsan, Guntur yang masih berada di luar kota mau tak mau harus meninggalkan pekerjaannya. Saat ia kembali ke rumah, sudah ada dokter Rizwan yang menangani. Sedangkan Bi Dian terus menangis khawatir di depan kamar Raina.

Guntur masih belum bertanya apa alasannya kepada Bi Dian. Namun, kembali ia mengingat bahwa kondisi Raina yang semakin menurun membuat jantungnya sering kambuh. Hal itulah yang membuatnya memutuskan untuk lebih ketat dalam penjagaan Raina.

"Raina kalo mau tidur, tidur aja nggak papa. Jangan khawatir sama oksigennya, ya." Dokter Rizwan tersenyum lembut.

Raina mengangguk singkat dengan kepalanya yang terasa sangat pusing. Lidahnya kelu, matanya begitu berat untuk bisa terbuka dan menatap ayahnya dan juga dokter Rizwan.

"Pa..." Raina menatap Guntur.

Guntur mendekat dan menggenggam tangan Raina. "Iya, Sayang. Papa di sini."

Raina menghela napas berat. Dengan adanya oksigen konsentrator memudahkan dirinya untuk bernapas, tetapi tidak dengan dadanya yang masih terasa sedikit nyeri.

"Kepala Rain pusing," lirihnya yang begitu menggetarkan hati Guntur.

Guntur menganggukkan kepalanya kemudian mengelus kepala Raina. Begitu dalam rasa cinta dan kasih sayangnya kepada Raina walaupun gadis itu bukanlah putri kandungnya. Raina begitu kesepian saat bertemu dengannya sepuluh tahun yang lalu. Gadis kecil bertubuh gempal yang begitu menggemaskan dan selalu bercerita tentang kehidupannya yang indah bersama mendiang ayahnya.

Sejak saat itu, Guntur memutuskan untuk menggantikan posisi ayahnya yang sudah tiada tapi tidak menghilangkan rasa cinta di dalam hati gadis itu untuk ayahnya sendiri. Guntur hanya ingin membahagiakan Raina dengan caranya sendiri, mewujudkan keinginan kecil Raina dengan ayahnya yang belum pernah tercapai. Namun, kali ini dirinya merasa gagal ketika gadis yang begitu ceria harus menelan rasa sakit yang terus menggerogoti tubuhnya.

"Dibawa tidur aja ya. Nggak usah mikir aneh-aneh, cukup istirahat aja," ucap Guntur.

"Besok udah sembuh 'kan, Pa? Besok Rain mau sekolah."

Hujan Yang HilangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang