Hujan-19

4 3 0
                                    

Happy reading ❤️
________________

Dengan tubuhnya yang masih basah, Raina berjalan tertatih-tatih memasuki rumah. Ia menuju kamar Langit sambil menahan rasa sakit di kakinya. Dadanya sesak dan nyeri bersamaan. Oksigen seakan sulit untuk diraupnya.

"Kak Langit," lirih Raina sambil terus menekan dadanya.

Rasa sakit itu begitu dalam, mengoyak kembali hatinya yang rapuh. Ucapan Langit begitu menghantam dadanya dengan kuat. Semesta seolah tak pernah mengizinkan dirinya untuk bersatu dengan Langit.

Raina menyentuh kenop pintu yang dingin dan kokoh. Mengusapnya perlahan dengan kedua tangannya yang bergetar. Derai air mata tak berhenti untuk terus membanjiri pipinya yang pucat. Perlahan, tangannya mengetuk pintu dengan pelan dan diiringi isak tangis.

"Kak Langit...buka ya, Kak."

"Rain min...minta maaf."

Kegelisahan kembali datang kala rasa sakit itu kembali menusuk jantungnya dengan kuat. Suaranya pun sama sekali tak diindahkan oleh sang pemilik kamar. Pun sekelilingnya yang sepi mendatangkan rasa takut yang terus memeluknya dengan erat.

Raina meluruh di lantai dengan kedua kakinya yang ditekuk, bersandar pada daun pintu lebar kamar Langit.

"Bunda..." lirih Raina.

Raina memukul dadanya sambil menangis tersedu-sedu, napasnya tercekat. "Sakit, Bunda...."

Arghhhhh

Erangan itu terus keluar dari bibir mungilnya yang bergetar menahan sakit. Tubuh Raina meringkuk di atas lantai sambil terus menatap kamar Langit dan berharap kakaknya itu mau membukakan pintu untuknya.

"Maaf...in Rain, Kak..." lirihnya.

Langit mendengar rintihan itu dari dalam kamarnya. Ia tidak bodoh untuk bisa mengerti apa yang sedang terjadi. Meninggalkan Raina yang sedang kesakitan di kolam renang bukanlah hal yang tepat. Gadis itu seharusnya tetap dalam pengawasan seseorang, termasuk dirinya.

Sayangnya, Langit dengan segala pikirannya yang berkecamuk dan egonya yang terus mendorong dirinya untuk melakukan hal itu, menganggap bahwa Raina sedang mencoba untuk mempengaruhi pikirannya.

"Kak Langit...."

Suara itu kembali terdengar dengan tangisannya yang menjadikan suasana tampak begitu menyedihkan. Langit menjambak rambutnya frustrasi. Ia menendang pintu kamarnya dengan kuat.

Brakk

Raina terkejut bukan main. Jantungnya seakan berhenti berdetak dengan rasa sakit yang semakin menusuk hatinya.

"Pergi lo, sialan!!" bentak Langit dari dalam kamar.

"Lo bukan siapa-siapa gue! Berhenti anggap gue saudara lo!"

"Lo itu cuma sampah, Rain!"

"Lo itu beban!"

"Parasit!"

"Lo udah ambil semuanya dari gue!"

Raina menggeleng dan semakin mendekatkan dirinya pada pintu yang masih terkunci rapat. Ia kembali menangis, Langit begitu membencinya.

"Nggak, Kak. Maafin Rain," lirih Rain sambil terus menggedor-gedor pintu kamar Langit.

Brakk

Langit kembali menendang pintunya dan terus membuat Raina terkejut dengan rasa sakitnya yang seakan membuat hidupnya akan berakhir saat itu juga.

Mendengar keributan yang terjadi di lantai atas, Bi Dian yang sedang menyeduh kopi untuk Pak Rudi mau tak mau harus menghentikan kegiatannya guna melihat apa yang sedang terjadi.

Hujan Yang HilangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang