Selama perjalanan, [Name] banyak berbicara mengenai universitas dengan William. Ia selalu dibuat terpukau oleh kecerdasannya dan cara menjawab setiap pertanyaan. Terkadang juga Albert sesekali menimbrung.
[Name] terkadang menoleh ke Louis yang berada di sampingnya, walau sepertinya ia lebih memilih untuk menyimak walau ia juga ikut menimbrung. [Name] ingin sekali berbicara lebih banyak dengannya, walau ia masih agak takut untuk memulainya.
Tak terasa, mereka sudah sampai di kediaman Moriarty. [Name] sudah mengira bahwa mereka memiliki kediaman yang besar, tetapi tak mengira bahwa akan sebesar yang ia lihat sekarang.
Setelah mengetahui fakta bahwa William adalah seorang profesor dan Albert yang bekerja di bidang militer —tak lupa mereka sendiri adalah bangsawan— ia pikir, seharusnya ia tidak merasa heran.
[Name] turun dari kereta kuda, dan disambut oleh taman luas yang dipenuhi bunga-bunga bermekaran dengan indah. Ia dapat mengetahui bahwa pengurus kebunnya pasti merawat bunga-bunga tersebut dengan baik. Ia mengikuti ketiga pria tersebut dari belakang, dan saat di dalam ia disambut oleh seseorang yang sepertinya tidak asing.
"William, lama sekali— Loh kok ada si cewek? Bukankah kau sepupunya Herder itu?"
"Moran juga sudah bertemu dengan Nona [Name], ya." William menaruh topinya di gantungan, Albert dan Louis juga melakukan hal yang sama. [Name] meletakkan payung yang ia bawa di tempat payung. Ia ingin bertanya kepada William apa yang Moran lakukan di sini.
Para pria tersebut berpencar ke tempat masing-masing, [Name] mengikuti William karena ia yang menyuruhnya.
Mereka sampai di ruang bicara, dan [Name] duduk berhadapan dengan William.
"B-Bolehkah saya bertanya sesuatu...?" ujar [Name] ragu-ragu.
"Silahkan."
"Apakah ada alasan mengapa Tuan William tiba-tiba memberikan saya tawaran seperti itu, walau kita baru saja bertemu?"
William terdiam sesaat. "Saya rasa anda memiliki kemampuan yang mumpuni, selain itu saya kenal baik dengan Herder sendiri. Dari tebakan saya juga, anda orang yang pekerja keras dan mandiri sehingga saya yakin anda dapat mengajar dengan baik."
Karena dipuji, [Name] merasa malu. Ia dapat merasakan kedua pipinya memerah, jarang orang yang memberitahunya hal tersebut kepadanya.
"Ada apa, Nona [Name]?"
"Ah... Sebelumnya, terima kasih banyak telah memuji saya. Tetapi saya sesungguhnya tidak seperti itu. Saya hanya berusaha melakukan yang terbaik, karena saya juga wanita, yang dituntut untuk serba bisa. Dan sebelumnya, tak pernah ada yang menghargainya.
Mendengar ucapan Tuan William barusan, saya merasa dihargai. Terima kasih banyak." [Name] tersenyum, lalu pandangannya tertuju ke Louis yang membawa dua cangkir teh, teko, dan beberepa kudapan. Ia meletakkan cangkir teh di meja, dan menuangkan teh ke masing-masing cangkir.
"Terima kasih, Tuan Louis." ujar [Name] dan kemudian menyesap teh tersebut. "Teh yang nikmat! Teh apa ini?"
"T-Terima kasih.. hanya darjeeling black tea biasa.." Louis tak menyangka bahwa [Name] akan memujinya.
Entah karena suasana kediaman Moriarty yang berbeda dari yang lain, rasa teh yang disuguhkan pun berbeda.
"Hee... benarkah? Sungguh, rasanya berbeda dari yang biasa."
"Bolehkah saya menebak sesuatu lagi?" tanya Willam setelah menyesap tehnya.
"Boleh saja." [Name] meletakkan cangkirnya, menetapkan fokusnya ke William.
"Maaf jika ini termasuk privasi, tetapi sepertinya anda melarikan diri ke sini juga karena anda akan dinikahkan dengan seorang bangsawan, ya?"
Untung saja William bertanya ketika [Name] sudah selesai minum, jika tidak bisa-bisa ia menyemburkan tehnya ke wajah menawan pria bersurai pirang ini.
"Ba-bagaimana anda..."
"Hanya tebakan lagi juga." William tersenyum. "Anda sebenarnya sudah dipaksa menikah oleh kedua orang tua sejak memasuki usia 18 tetapi anda menundanya karena ingin kuliah terlebih dahulu. Dan membuat kesepakatan bahwa anda harus menikah setelah lulus."
Berada di titik ini, [Name] sangat yakin bahwa William adalah seorang cenayang.
"Ya... itu semua benar. Saya kabur dari Jerman karena akan dinikahkan oleh seorang saudagar kaya raya di sana, agar kekayaan keluarga tidak habis katanya. Saya tidak ingin cepat-cepat menikah, masih banyak hal yang ingin dilakukan. Tentu terkadang terbersit keinginan untuk menikah, tetapi untuk hal tersebut saya yang ingin menentukannya sendiri." [Name] menghela napas, mengingat kedua orangtuanya yang cukup pemaksa.
"Maaf, membuat anda kembali mengingatnya."
"Tidak apa-apa... menceritakannya ke orang lain menjadi terasa nyaman. Rasa gundah dalam hati saya menjadi perlahan menghilang."
Louis yang daritadi menyimak, ia merasa ikut tak enak hati. Karena walau tak terlihat secara kasat mata, dari raut wajah wanita tersebut ia merasa bahwa [Name] selama ini terkekang. Tak bebas menentukan keinginannya sendiri.
"Senang mendengarnya jika seperti itu," Setelah menyesap tehnya, William meletakkannya kembali. "Nona [Name], apa anda membaca koran lokal?"
"Koran lokal...? Saya membacanya, tetapi baru beberapa kali saja."
"Bolehkah saya bertanya tentang sesuatu?"
"Boleh saja...?"
"Apa pendapatmu mengenai Bangsawan Kriminal?"

KAMU SEDANG MEMBACA
promise | louis j. moriarty
Fanfiction[ slow update ] Louis yang merasa bahwa pertemuan mereka adalah ketidaksengajaan terindah.