15

299 61 4
                                    

a/n: maaf baru update lagi... pls enjoy <3


"Aaaaaa! Aku ingin sekali kisah cintaku seperti ini! Ia memegangmu, lalu menciummu!" Ujar salah satu temannya, yang sedang membaca sebuah novel percintaan.

"Aku juga. Seperti mimpi, bukan?" Ujar teman yang lain.

[Name] hanya mengangguk setuju, karena ia berpikir setiap orang memiliki momennya masing-masing. Tetapi menurutnya, tak salah juga teman-temannya menginginkan hal seperti itu.

Selama ini ia hanya menyaksikan momen seperti itu dari novel yang ia baca, atau hiburan teater yang sesekali ia tonton.

Ia merasa, ia sedang mengalami momen seperti yang diceritakan dalam novel selama ini.

Louis tiba-tiba menciumnya, tentu ia terkejut bukan main. Kedua tangannya berpegangan pada pundak pria itu, lama-kelamaan ia tenggelam dalamnya. Ia menutup matanya rapat, tangannya perlahan menjamah rambut belakang pria Moriarty itu. Sementara itu, Louis semakin memeluknya. 

Keduanya saling melepaskan diri untuk mengambil napas. Mereka saling bertatapan satu sama lain, dengan wajah masing-masing sudah sangat memerah seperti lobster yang baru saja direbus.

"Sekarang ini, kita apa...?"

"A—"

Sebelum Louis sempat menjawab, terdengar pintu utama dibuka. Terdengar langkah kaki yang mengarah ke mereka, sehingga keduanya cepat-cepat menjauh dan merapikan penampilan mereka.

"Louis, [Name]!"

Ternyata itu adalah Bond.

"Bond, kau dari mana saja?" Tanya Louis yang kemudian keduanya sibuk berbincang.

Perlu [Name] akui, Louis terlihat... profesional. Ia sekarang bersikap seolah tak terjadi apa-apa sebelumnya, dan membuat [Name] entah mengapa terpukau karenanya.

Karena ia sempat melamun masih memproses kejadian barusan, ia tak sadari dirinya telah dipanggil oleh Bond berkali-kali.

"Nona! Kau tak apa-apa?" Bond menjentikkan jarinya di depannya.

"E-Eh... A-aku baik-baik saja... aku ke kamar dulu!" Dan ia kabur meninggalkan kedua pria itu.

"Aneh..." gumam Bond, sementara Louis di belakangnya berusaha untuk menjaga raut wajahnya tetap seperti biasa.












•••












"Tunggu... coba katakan sekali lagi???" Emma masih tak percaya dengan perkataan [Name] barusan.

"Aku tak akan mengatakannya lagi." [Name] menyeruput tehnya.

Sekarang keduanya sedang berada di rumah Emma. Tunangan Emma sedang pergi keluar kota untuk beberapa hari, dan Emma memang meminta [Name] untuk datang ke rumahnya beberapa hari lalu.

"Memang laki-laki itu diam-diam menghanyutkan, ya..."

"Awalnya aku hanya ingin menjahilinya saja, tapi... sepertinya aku sudah keterlaluan..."

"Tidak, tidak. Kamu tidak keterlaluan sama sekali. Oh ya, omong-omong kamu sudah berapa lama mengenal laki-laki ini?"

"Hm.. mungkin 3 bulan...?" [Name] mencoba mengingat kembali semenjak ia pertama kali bertemu dengan Louis.

"3 bulan... ku rasa hal tersebut termasuk waktu yang tepat..."

"Tetapi waktu terasa sangat cepat, bukan? Setelah semester berakhir belum tentu aku dapat melanjutkan pekerjaanku di sini lagi. Pihak universitas pasti akan menginginkan seseorang yang lebih kompeten daripada diriku, 'kan?"

"Kau benar... terkadang aku lupa kalau kamu hanya pengganti sementara."

[Name] memperbaiki posisi duduknya, ia menjadi mengingat kembali sudah berapa banyak hal yang terjadi selama ia kabur ke Inggris. Ia tak menyangka, keputusan impulsifnya ini membawa perubahan yang tak ia sangka-sangka.

Siapa menyangka ia akan mendapat teman baru, lingkungan baru, bertemu teman lama, dan...

bertemu dengan seseorang yang tak ia sangka akan menjadi pujaan hati.

"Tapi, mau bagaimana lagi." Emma menepuk pundak lawan bicaranya. "Nikmati saja waktu sekarang. Tak salah jika kita mengkhawatirkan masa depan, tapi menikmati masa sekarang juga tak buruk 'kan?"

[Name] mengangguk, dan Emma kembali meledeknya. "Setidaknya sekarang kamu mempunyai seseorang yang dapat dijadikan semangat untuk menjalani hari, bukan~?"

"Berhenti meledekku!!"












•••












Setelah menghabiskan waktu hingga malam di kediaman Emma, [Name] diantar menggunakan kereta kuda milik Emma menuju kediaman Moriarty. Menilai dari perlakuan yang ia terima, [Name] dapat memastikan bahwa Emma berasal dari keluarga yang berada. Dan sepertinya ia juga bertunangan dengan lelaki yang memiliki status setara.

Sesampainya di tujuan, ia langsung menuju ke kamar. Ia merebahkan dirinya sebentar, lalu melihat ada tumpukan surat. [Name] mengambilnya dan mendapati sebuah surat dari Herder, dan yang satunya lagi terasa asing baginya.

Ia melihat nama pengirim surat itu, dan berasal dari seorang Earl yang tak ia kenal.

Tak lama terdengar suara ketukan pintu dari luar. [Name] menyuruhnya masuk, dan ternyata Louis lah yang mengetuk pintunya.

"Aku tidak tahu kamu sudah pulang."

"Ahaha... maaf. Aku langsung menuju ke kamar tanpa memberi salam..."

Louis melihat [Name] yang memegang amplop yang ia cari. "Amplop itu...?"

"Ini?" Si perempuan menyodorkan surat tersebut ke Louis. "Sepertinya tadi ada yang salah menaruhnya."

"Mungkin Bond yang meletakkannya di kamarmu."

"Memang surat apa itu, jika aku boleh tahu?"

"Undangan dari Earl Anderson. Ia mengundang keluarga Moriarty secara mendadak untuk pestanya yang akan diadakan besok."

"Pesta?"

"Pesta bangsawan biasa, seperti yang kamu ketahui."

"Hee... William terkenal juga, ya di sini."

Louis sedikit terkekeh. "Bagaimana jika kamu ikut dengan kami besok?"

"Bolehkah..?"

"Ku rasa tidak masalah, sebenarnya aku juga bermaksud mengajakmu..."

[Name] mencoba memproses semuanya, ketika ia tersadar bahwa Louis sedang mengajaknya... berkencan...? Pesta? Pesta dansa? Tentu ia tidak menolak kesempatan ini.

"Oh... tentu saja aku mau!" Ia reflek memegang kedua tangan Louis. "Tunggu sebentar, tapi aku tidak punya gaun yang bagus..."

"Tenang saja, nona! Aku punya gaun yang cocok untukmu."

Keduanya menoleh ke sumber suara, dan ternyata Bond yang menjawabnya. "Maaf, aku tak sengaja mendengar percakapan kalian..."

"Tak apa-apa! Tapi apa maksudmu mempunyai gaun yang cocok untukku...?"

"Kita lihat saja besok. Kamu bisa serahkan ini kepadaku, nona." Bond mengedipkan salah satu matanya, dan ia melirik kepada Louis yang hanya bisa pasrah.

promise | louis j. moriartyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang