Tinggal dengan gratis tentu tak membuat [Name] bertindak seenaknya. Walau sepupunya telah memberikan tempat tinggal, setidaknya ia harus membuat dirinya berguna. Tentu ia juga tak ingin menyia-nyiakan waktu bebas yang akhirnya ia dapatkan.
Dan tak mungkin ia dapat bertahan dengan seluruh uangnya untuk hidup kedepannya, setidaknya harus memiliki pemasukan.
Tetapi, siapa yang mau menerima seorang wanita bekerja? Apalagi ia merupakan orang asing.
Karena ia belum sempat berkeliling kota, sekaligus mencari pekerjaan, ia memutuskan untuk pergi ke sana sekaligus melihat-lihat.
London memang berbeda, ya. [Name] merasa berada di surga dunia. Suasana perkotaan yang sangat berbeda dengan desanya di Jerman dulu. Banyak orang berlalu lalang dari berbagai kalangan, berbagai kegiatan yang terjadi dalam waktu bersamaan, menyebabkan lebih bising dibanding di desa. Serta udara yang terasa lebih berat dibanding biasanya.
Entah karena sibuk melihat-lihat di sepanjang perjalanan atau melamun memikirkan bagaimana mendapatkan pekerjaan, ia tiba di depan sebuah bangunan yang sepertinya panti asuhan. Terdapat sebuah kereta kuda hitam, yang sepertinya merupakan angkutan seseorang yang berada. Ia melihat beberapa pria yang berjalan keluar dari panti tersebut. [Name] sedikit berjalan ke sana untuk melihatnya.
Pria pertama mengenakan setelan suit hitam dengan topi hitam, ia memiliki rambut berwarna cokelat. Pria tersebut sepertinya sedang berbicara dengan wanita paruh baya yang merupakan pengurus panti.
Pria kedua mengenakan setelan yang sama, bedanya ia memiliki rambut pirang. [Name] pun merasa familiar melihatnya.
Pria ketiga pun juga sama, bedanya ia memakai kacamata oval. [Name] merasa seperti tahu siapa pria ketiga ini, dan ia memberanikan diri mendekatinya.
"T-Tuan Moriarty...?"
Keduanya pun menoleh, dan Louis cukup terkejut. Ia tak menyangka dapat melihat [Name] di sini.
"Nona... Herder...?"
"Wah, benar ternyata, Tuan Moriarty..." [Name] sudah bersiap-siap jika ia salah, ia harus menanggung rasa malu yang tak akan terlupakan olehnya.
"Kenalanmu, Louis?" tanya pria yang satunya kepada Louis.
"Bisa dibilang begitu... Nona Herder adalah sepupu Q, minggu lalu bersama dengan yang lain kami bertemu dengannya." jelas Louis.
Pria tersebut mengangguk, dan menoleh ke [Name]. "Izinkan saya memperkenalkan diri, saya William James Moriarty. Louis adalah adik saya. Senang bertemu denganmu, nona...?"
"Nama saya [Name] [Middle Name] von Herder. Senang bertemu denganmu juga, Tuan Moriarty." [Name] menekukkan lutut kanannya, menarik sedikit roknya dan membungkuk sebagai tanda hormat kepada William.
"Senang bertemu denganmu, Nona [Name]. Anda bisa memanggil saya dengan William saja, agak tidak membingungkan kami berdua. Karena saya juga memanggil anda dengan nama sendiri, agar tidak tertukar dengan Herder lain." ujar William, tertawa kecil.
"Ah... baiklah." [Name] menggaruk pipinya yang tidak gatal, merasa tersipu. Ia sedikit bertanya, apakah William juga mengenal sepupunya tersebut.
"Ada apa, William, Louis?" tanya pria bersurai cokelat yang sudah selesai berbicara, kepada William dan Louis. Ia kemudian menyadari keberadaan [Name], dan memiliki ekspresi bertanya-tanya.
"Kak Albert, perkenalkan ia adalah [Name] [Middle Name] Herder. Ia sepupunya Q, dan kebetulan kami bertemu di sini."
"Hoo... saya Albert James Moriarty, kakak tertua keluarga Moriarty. Kami bertiga adalah kakak beradik. Senang bertemu dengan anda, Nona [Name]." ujar Albert.
"S-Senang bertemu dengan anda juga... Tuan Albert. Saya tak tahu bahwa kalian bertiga adalah kakak-beradik."
"Omong-omong, mengapa anda bisa sampai di sini? Seingat saya tempat ini agak jauh dari kediaman Herder." tanya William.
"Uh.. saya belum sempat berkeliling kota. Dan London ternyata sangat berbeda dari tempat saya di Jerman dulu. Saya cukup menyukainya." jawab [Name].
"Apakah anda orang desa?" tanya Albert.
"Iya, walau saya berkuliah di kota, tetapi bila semester berakhir, saya langsung kembali ke desa."
Daritadi William mengobservasi [Name] secara keseluruhan. Penampilan, cara bicara, gestur tubuh, sikap, serta etika.
"Nona [Name], bolehlah saya menebak sesuatu tentang anda?" tanya William.
"Eh... silahkan...?"
"Anda adalah seseorang yang baru saja lulus kuliah dengan ilmu sosial sebagai jurusannya. Karena suatu alasan yang berhubungan dengan orangtua, anda memutuskan untuk pergi ke Inggris. Sebelumnya anda ingin ke Paris tetapi karena keterbatasan biaya yang anda kumpulkan, anda memilih ke sini karena ada sepupu yang setidaknya anda kenal.
Anda sebenarnya bisa saja meminta uang lebih kepada orang tua, tetapi anda tidak ingin melakukannya karena suatu hal pribadi. Dan dengan jumlah uang yang anda bawa sekarang, belum tentu cukup untuk kedepannya sehingga anda memutuskan untuk mencari pekerjaan walau anda tahu hal tersebut cukup sulit."
[Name] yang mendengar 'tebakan' William, dibuat bingung karena hampir seluruhnya benar dan bertanya-tanya siapa sesungguhnya pria ini.
"H-Hebat sekali... hampir seluruhnya benar. Padahal aku belum bercerita tentang apapun..."
William tertawa kecil. "Omong-omong, saya adalah seorang profesor di universitas di Durham. Kalau tidak salah, ada guru ilmu sosial yang mengundurkan diri dan kami belum menemukan penggantinya. Apakah anda tertarik untuk menggantikannya mengajar di sana sementara?"
"A-Anda seorang profesor?!" [Name] kembali terkejut. Ia menjadi bertanya-tanya siapa sesungguhnya pria ini. Dan ia menjadi berdeduksi, sepertinya ia juga merupakan bos dari sepupunya sendiri. Walau Albert yang merupakan kakak tertua.
Walau begitu, tawaran yang William sebutkan cukup membuatnya tergiur. Tetapi ia ingin mencari tahu lebih dalam lagi.
"Bolehkah saya bertanya lebih banyak lagi?"
"Tentu. Bagaimana anda ikut ke tempat kami sekaligus minum teh bersama?"
"E-eh? Apakah anda tidak keberatan?" [Name] merasa tak enak, mengingat mereka baru bertemu sekarang.
"Tentu tidak, mari ikut dengan kami." ujar William, dan [Name] memutuskan untuk ikut menaikinya bersama ketiga bersaudara tersebut.
![](https://img.wattpad.com/cover/279467809-288-k619331.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
promise | louis j. moriarty
Fanfiction[ slow update ] Louis yang merasa bahwa pertemuan mereka adalah ketidaksengajaan terindah.