14

456 72 7
                                    

"BENARKAH?! KENAPA BARU MENGATAKANNYA KEPADAKU SEKARANG?!"

"Ssstt, Emma."

Beberapa pengajar menjadi menoleh ke mereka berdua akibat pekikan Emma setelah mendengar cerita dari [Name] mengenai kejadian tempo hari. Mereka berdua meminta maaf kepada yang lain karena telah membuat keributan.

"Jadi, orang yang kamu suka memberimu bunga dan kamu menciumnya?! Di pipi?!"

[Name] mengangguk dengan malu.

"Itu... aku spontan melakukannya... karena ia terlihat lucu..."

Emma tertawa cukup terbahak-bahak melihat rekannya yang malu-malu.

"Aku merasa seperti menyaksikan adegan dalam novel percintaan." Ia mengusap air mata yang keluar dari pelupuk mata.

"Lalu, bagaimana dengan cerita kelanjutannya?"

"Itu..." [Name] memalingkan matanya dari tatapan Emma, melihat ke arah lain.

Wanita yang berada di depannya pun seakan langsung tahu jawaban yang selanjutnya ia akan dengar.

"Jangan. Jangan diucapkan. Aku sepertinya tahu apa jawabanmu."

"Ha-habisnya..." [Name] mengusap tengkuknya, kembali mengingat kejadian setelah itu.

Setelah Louis dan dirinya berbelanja bersama, mereka berdua tak bicara sepatah kata apapun. Jika keduanya saling bertemu di lorong, Louis terkadang hanya memberikan senyum dan begitu juga dengan dirinya.

Dan ketika akan menyiapkan makan malam pun, keduanya tak begitu banyak bicara. Entah apakah William atau Bond sadar akan interaksi mereka berdua, walau sepertinya William tahu tetapi ia tidak menyinggungnya sedikitpun.

Selain itu karena kampus telah memasuki pertengahan semester, kegiatan mengajar semakin sibuk dan rapat dengan pengajar lainnya pun semakin sering dilakukan. Adapun alasannya karena mereka mengejar target sebelum libur musim panas.

[Name] yang datang ketika mulai memasuki pertengahan semester, lama-lama menjadi harus mengejar materi menyesuaikan dengan kurikulum. Sehingga setiap ia pulang, terkadang ia langsung merebahkan dirinya di tempat tidur untuk mengistirahatkan tubuhnya.

"Tapi memang sekarang sedang masa-masanya sibuk, sih. Walau begitu, bagaimana jika kamu coba untuk menanyainya lagi bagaimana pendapatnya tentang dirimu?" tanya Emma.

"Aku... bisa dibilang cukup takut untuk menanyainya..."

"[Name]! Bagaimana bisa kamu lebih berani menciumnya dibanding menanyakan hal sesederhana itu?!" Pemiliki nama belakang Addison itu memegang kedua pundak puan di depannya, lalu menggoyangkan tubuhnya karena gemas.

"Sebenarnya, aku lebih tak berani mendengar perkataannya secara langsung. Selain itu, ia sempat tak bereaksi apa-apa..."

"Percayalah kepadaku. Ia sudah pasti menyukaimu balik, ia pasti hanya terkejut saja dengan langkahmu yang berani. Dan tak tahu mesti bersikap bagaimana. Selain itu, ia juga memberimu bunga, kan?"

[Name] terlihat berpikir sebentar, lalu bertekad untuk memberanikan dirinya nanti.

"Mungkin akan kutanya, nanti..."

"Bagus, itu baru sahabatku." Emma memeluk [Name] erat-erat, lalu mengambil jam saku yang ada di kantung roknya.

"Aku lupa, sebentar lagi aku ada jam mengajar! Aku pergi duluan, ya!" Emma buru-buru mengambil bahan ajarnya, lalu meninggalkan [Name] sendirian.

Dan beberapa saat kemudian, Dean muncul.

"[Name]! Tak ada kelas?"

"Tidak. Barusan yang terakhir." Ujar sang puan sembari meregangkan tubuhnya.

promise | louis j. moriartyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang