"Aku rasa sepertinya aku sudah mengenalkan lokasi-lokasi yang ada di kampus." ujar Emma, lalu mengambil jam saku yang ada di kantung roknya.
"Seharusnya sebentar lagi bel berbunyi..." dan seperti yang baru saja dibilang, bel makan siang pun berbunyi. Tak lama, beberapa siswa mulai berkeluaran dari kelas. Dan kebanyakan dari mereka adalah laki-laki, walau murid perempuan juga ada.
"[Name], tadi kamu membawa makan siang sendiri, kan? Bagaimana kalau kita makan bersama?"
"Bagaimana dengan Dean?"
"Kurasa kelas yang ia ajar selesainya masih lama. Memang bel berbunyi saat jam makan siang, tetapi kelas yang benar-benar selesai hanya beberapa saja."
[Name] mengangguk mengerti, dan ia pun mengikuti Emma kembali ke ruang dosen dan mengambil bekal yang ia bawa. Setelahnya Emma mengajaknya ke taman yang ada di dalam kampus.
Sedari tadi [Name] belum melihat apa yang Louis berikan kepadanya tadi pagi, dan saat ia membuka dan mengambilnya, pria tersebut memberikannya sandwich dan ada sebuah apel pula.
"Kamu rajin sekali membawa buah." ujar Emma yang sedang mengunyah sandwich yang ia bawa juga.
"Ini bukan aku yang menyiapkannya, tetapi temanku."
"Cukup perhatian, ya..."
"Benar. Aku merasa tak pantas menerima kebaikannya..." ia pun memakannya, dan rasa sandwich yang ia makan terasa nikmat. Entah karena Louis yang memang pandai memasak, atau karena orang tersebut yang membuatnya. [Name] memakannya dengan senang hati, hingga habis tak tersisa.
"Oh ya [Name], jika aku boleh tahu, kamu memiliki hubungan apa dengan Pak Moriarty?"
"Hm... kamu ingat dengan Herder yang Dean sebutkan, kan? Ia adalah sepupuku. Sepupuku punya semacam hubungan bisnis dengannya, lalu aku dikenalkan dengannya. Pada saat itu, kebetulan aku sedang mencari pekerjaan karena baru saja tiba dari Jerman."
"Hee... berarti kamu tinggal dengan Pak Moriarty...?"
"Selain dengannya, ia juga punya adik dan ada semacam asisten lainnya juga. Jadi aku tak hanya benar-benar berdua."
Emma yang mendengarnya hanya mengangguk-angguk, sambil membayangkan jika teman barunya ini sepertinya akan sangat menyenangkan walau mereka hanya akan bersama dalam jangka waktu yang pendek.
"Bagaimana jika sekarang giliranmu yang cerita?" tanya [Name] kembali.
"Apa yang harus kuceritakan?"
"Entahlah, mungkin bagaimana kamu menjadi dosen? Atau mengenal Dean?"
"Well... sebenarnya kedua orang tuaku menentangku melanjutkan studi hukumku. Tetapi aku bersikeras dan pergi ke rumah kerabatku untuk menumpang sekaligus mencari perlindungan. Karena aku dekat dengan mereka sejak kecil dan tahu mengenai keadaanku, mereka tak segan menampungku.
Lalu setelah melewati jalan yang panjang, akhirnya aku menjadi pengajar di bidang tersebut. Dan di sini, aku pertama kali bertemu dengan Dean. Kami akrab dengan cepat karena kami termasuk orang muda di sini. Jujur saja, awalnya kukira dia orang yang bisa kuhormati karena ia menjadi pengajar di sini lebih awal, tetapi ternyata ia hanya orang paling menyebalkan di muka bumi ini."
Wanita bermarga Herder tersebut sedikit tertawa, baginya sepertinya Dean tidak berubah sama sekali.
"Nah, [Name], bagaimana kalau kau memberitahuku bagaimana bisa Dean merupakan temanmu dulu?"
"Dulu saat aku masih kecil, sepupuku yang kuceritakan sering menciptakan sesuatu. Dean adalah cucu tetanggaku yang biasa kupanggil Oma. Ia cukup sering datang untuk melihat, dan aku sering mengamati sepupuku. Mungkin semenjak itu... aku menjadi akrab dengannya. Kami sering bermain bersama. Ia dan sepupuku suka menjahiliku hingga aku menangis.
Tetapi ia hanya datang setiap musim panas hingga aku berumur 10 tahun, dan setelahnya ia tak pernah datang lagi."
"Mendengar ceritamu, sepertinya memang orang itu terlahir untuk menjadi menyebalkan. Tapi [Name], aku sangat ingin mengatakannya daritadi, kuharap kamu jangan terkejut."
"Memang ada apa...?"
"Kurasa, Dean menyukaimu."
"Eh...?"
"Kamu tak lihat wajahnya tadi? Ia menunjukkan ketertarikan kepadamu."
"Emma... kurasa kamu salah lihat. Ia kan memang sudah lama tak bertemu denganku." [Name] menyangkalnya. Ia berpikir Dean pasti hanya senang bertemu dengan teman masa kecilnya. "Lagipula... aku sudah memiliki orang yang kusuka."
Mendengar jawaban dari lawan bicaranya, Emma merasa ia harus menyinggung Dean nantinya agar ia menyerah untuk mendapatkan wanita yang ada di sampingnya. Dan walau ia ingin mengetahui mengenai orang yang wanita di depannya sukai, ia menunda keinginannya karena sebentar lagi kelas yang akan diajar oleh [Name] akan dimulai.
"Menurutku sebaiknya kita lanjutkan nanti saja perbincangan ini. Aku akan mengantar ke kelas yang akan kamu ajar nanti." Emma mengulurkan tangannya ke [Name], lalu ia menerimanya.
Ketika dalam perjalanan, mereka berdua bertemu dengan William yang sepertinya baru saja selesai mengajar.
"Bu Addison dan [Name], kalian sudah selesai istirahat?"
"Baru saja selesai. Sekarang saya ingin mengantarkannya ke kelas yang akan ia ajar."
"Baiklah, kuharap nanti berjalan lancar. Sampai jumpa nanti."
"Pak Moriarty jangan lupa makan, loh!" ujaran dari Emma hanya membuat William tertawa kecil ketika sang pria meninggalkan mereka berdua.
"Ada apa dengannya dengan 'makan'?" tanya [Name].
"Kamu lihat, kan? Pak Moriarty membawa kertas di tangannya? Ia memiliki kebiasaan setelah mengadakan kuis di kelasnya, ia akan pergi ke tempat yang sepi untuk memeriksa jawaban-jawaban. Banyak pengajar lain juga yang sering mengingatkannya karena ia jarang makan. Sehingga sudah menjadi kebiasaan untuk mengingatkan Pak Moriarty makan."
Baru satu hari, [Name] sudah menerima banyak informasi mengenai kampus. Selepas ia mengambil bahan ajar, ia diantar oleh Emma menuju ke kelas yang ia ajar. Karena kelas sebentar lagi akan mulai, di dalamnya sudah terdapat banyak murid.
Ketika mereka melihat sosok Emma dan [Name], banyak dari mereka yang penasaran dengan sosok yang mereka baru lihat.
"Seperti yang kalian tahu, profesor sebelumnya sedang cuti karena suatu hal. Maka dari itu, akan digantikan oleh pengajar sementara hingga akhir semester. Nona di samping ini bernama [Name] von Herder. Buat ia merasa nyaman, ya." Emma kemudian mengisyaratkan ke [Name] bahwa ia sudah bisa memperkenalkan diri.
"Halo semua. Sebelumnya mohon maaf atas kemunculanku yang secara tiba-tiba. Karena aku telah dikenalkan oleh Emma- Nona Addison sebelumnya, kurasa aku tak perlu memperkenalkan diri lagi. Mohon kerja samanya hingga akhir semester, ya."
"Bu Herder, boleh saya menanyakan sesuatu?" tanya salah satu murid laki-laki.
"Tentu."
"Tipe laki-laki seperti apa yang ibu suka?"
"Aku tahu dirimu, Tuan Bennett. Bagaimana jika aku meminta profesor sebelumnya dan Nona Herder untuk mengurangi nilaimu?"
Beberapa siswa yang ada di dalam pun cekikikan mendengar jawaban Emma. Sementara Bennett sedikit mendengus.
"[Name], kurasa aku bisa menyerahkannya kepadamu dari sini, kan? Kalau ada yang mengganggumu, kamu bisa memberitahuku nanti. Aku duluan, ya." Emma menepuk pundak teman barunya, dan ia meninggalkan ruang kelas.
"Karena Nona Addison sudah pergi, sebaiknya kita mulai saja kelas ini."
KAMU SEDANG MEMBACA
promise | louis j. moriarty
Hayran Kurgu[ slow update ] Louis yang merasa bahwa pertemuan mereka adalah ketidaksengajaan terindah.