• Act 3 Part 4

9 0 0
                                    


Tidak ada rasa sakit, padahal seingat Renjun ia telah menjatuhkan diri bersama Junkai menuju sungai. Seharusnya ia merasakan betapa shock tubuhnya menimpa dan ditempa bebatuan. Seharusnya pandangan mata sudah buram dan menatap Junkai dengan sendu seperti yang dilakukan dalam film.

Matanya masih terbuka sempurna. Bahkan jika harus menjelaskan bagaimana mereka meluncur dari ketinggian lewat sudut pandang Renjun pun pasti akan tertata dengan baik. Tangannya yang meraih-raih udara kosong, menoleh pada Junkai di sisinya yang masih terlihat kaget, juga batu-batu pengiring di mana beberapa pecahannya menyusul kecepatan mereka berdua.

Renjun tahu itu mengerikan, tapi memang ia melihat segalanya dengan jelas. Terlebih saat bagian wajah terlebih dahulu membentur sela-sela batu lembap, Renjun tahu pasti itu akan sakit. Namun, tidak. Bajunya memang terasa basah karena air sungai, tapi tidak dengan rasa sakit.

Beberapa waktu lalu ia belajar tentang bagaimana otak merespon tubuh yang terluka. Pada jenis luka tertentu membutuhkan waktu agar terasa sakit atau pedih, tapi Renjun tahu betul rasa akibat benturan tidak akan datang lebih lama daripada ini.

Tidak padanya, tentu juga tidak dengan Junkai.

Benar .... Cara mereka terjatuh bahkan tidak secepat angin atau apapun itu. Dalam perkiraan hitungan Renjun, dalam akhir kejadian sebelum sempat menyentuh dataran, mereka melambat.

Pantas saja, ini alasan kenapa batu dan pecahan tanah keras dalam ukuran seimbang itu meluncur lebih cepat. Seharusnya mereka punya kecepatan yang konstan, begitu pula dengan posisi Renjun juga Junkai di mana mereka justru sejajar padahal Junkai berada di bawah tangan Renjun sebelumnya.

Sambil merasakan aliran air sungai yang dangkal dan tenang melewati punggung Renjun, ia angkat kedua tangan dan ternganga melihat keduanya bercahaya terang. Ini pernah terjadi sebelumnya, walau Renjun tidak tahu kapan. Kalau tidak salah ... ketika ia terjatuh dari rumah kakek dari Cina dulu, masa-masa kecilnya.

Juga beberapa hal yang tidak dapat dijelaskan oleh sains atau logika. Renjun masih ingat bagaimana kejadiannya; selamat dari bahaya, saat ketakutannya pada kegelapan datang, dan juga tentang Jaemin dan Donghyuck yang sempat pamer pada Renjun bahwa mereka punya tangan bercahaya pula. Pernah mereka bertiga menyatukan tangannya satu sama lain, hingga akhirnya cahaya putih yang amat silau muncul kemudian membuat mereka semua terlempar.

Ada satu fakta lagi yang Renjun lupakan. Energinya akan terkuras habis hanya untuk mengeluarkan kekuatan aneh ini dari dalam tubuhnya. Bahkan sebelum merespon dan melihat bagaimana keadaan Junkai, dirinya sudah kehilangan kesadaran terlebih dahulu.

Lagi dan lagi, ia dibawa pada suatu tempat, sesuatu yang sering ditemuinya dalam mimpi keseharian berupa lorong panjang yang mungkin tiada akhir. Kemudian, kali ini Renjun sadar bahwa ia punya teman. Boneka kayu milik si bungsu tadi tergeletak di lantai.

Kaitan antara lorong dengan sosok baru itu jelas membuat Renjun kebingungan sendiri. Renjun pun tidak tahu apa yang harus dilakukannya kini, sebab selama ini dalam mimpi justru dia merenung bagaikan dunia kedua miliknya sendiri.

Renjun tidak juga pernah mencoba untuk mencari bagaimana rupa ujung lorong di sana, semuanya gelap dan ia datang di lokasi yang sama dengan obor menempel pada dinding.

Kendati demikian, kali ini muncul niat melihat bagaimana rupa tempat ini keseluruhan. Renjun lantas meraih obor tersebut, mengarahkan ke depan dan belakang guna memilih mana arah yang harus dilalui. Matanya melirik pada boneka yang tergeletak sembarangan, sedikit merenung sebelum akhirnya berbalik dan melangkahkan kaki.

Dalam perjalanan, Renjun merasa telinganya menangkap sesuatu yang bergerak. Mungkin dirinya terlalu mengenali langkah sendiri, hingga suara seperti ....

Keepers of The DarkTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang