• Act 3 Part 1

11 1 0
                                    

"Kita terpisah lagi dari yang lain."

Jeno bergegas berpaling. Jelas dari ekspresinya yang tadi tersenyum, kini luntur begitu saja. Sesaat kemudian dia sedikit menelisik melalui sudut-sudut tempat ini, kemudian berkata, "Na, aku tahu ini di mana."

Aku mengangkat kedua alisku. Penasaran, tapi juga mencoba ikut berpikir. "Di mana?"

"Di sekolah." Aku kaku. Lantas kuikuti untuk mengitari tempat melalui mataku, memastikan bahwa ucapan Jeno bukan main-main. Aku terkejut, jelas. Terlebih saat menyadari dengan detail tentang apa yang ada di tempat ini.

Nama pada plang, halaman luas, juga tiang dengan ujung bendera yang lapuk. Benar, ini sekolah yang sempat aku sambangi tadi. Aku bahkan bisa menangkap gema babi yang menguik. Oh, astaga. Aku jadi merinding lagi dibuatnya.

Kembali menenangkan diri, aku lantas menatap lurus pada bangunan sekolah. Entah kenapa, lagi-lagi aku dibingungkan tentang apa yang terjadi. Terlebih kali ini, di mana aku kembali terpisah dengan anak-anak lain, kemudian jatuh kembali pada tempat yang sama. Ya Tuhan ini benar-benar buruk!

Sekolah .... Sedikit kuingat pada ucapan Miss Jung. Ah, bukan ucapan, melainkan perintah atau permintaan atau apalah itu namanya.

Di salah satu ruangan sekolah itu pasti tersembunyi mustika Nyi Blorong. Jaemin, kamu pasti bisa mendapatkannya untuk saya.

Bukankah mustika itu jalan untuk kami pulang? Tidak peduli siapa yang menipu kali ini, tapi setidaknya itu cara agar kami terlepas dari gangguan apalagi serangan-serangan mengerikan dari Miss Jung yang tidak main-main itu terhadap kami.

Aku lelah. Aku hanya ingin cepat-cepat mengakhiri ini, lalu berbaring di rumah, atau mandi dengan air hangat. Itu pasti merilekskan tubuh, mengingat sudah lama aku tidak menyentuh air dan terus berjalan dengan tubuh kotor dan lusuh ini.

Ngomong-ngomong tentang tubuh kotor, sudah berapa hari aku di sini? Langit tidak juga gelap, bahkan hingga saat ini. Apa malam datang saat aku pergi ke limbo, ya? Benar, aku sering pingsan akhir-akhir ini. Atau jangan-jangan waktu sama sekali tidak bergerak ditempat ini? Ah, sial! Kenapa hal ini malah membuatku pusing. Sudah, lupakan aku harus segera keluar dari tempat terkutuk ini bersama yang lain ....

Lantas kulangkahkan kakiku mendekati pintu besar yang kurasa sebagai jalan masuk utama. Tinggi pintunya tiga kali dariku, dan sangat lebar hingga rentangan tanganku saja tidak cukup untuk mencapai sisi ke sisi.  Aku ingat ucapan Ayah, mungkin ini bangunan dari jaman penjajahan dahulu kala.

Kutarik kenopnya, bahkan hingga menarik benda itu hingga pintunya bergerak bersuara. Akan tetapi, tidak mau terbuka. Seperti ada sesuatu yang menahan dari dalam. Entah itu kunci atau palang dari kayu karena rasanya berat sekali.

"Na, kamu mau ke mana?" Jeno menghampiriku, dia menoleh sekilas pada pintu besar ini kemudian kembali menatapku.

"Jeno ...," aku berbisik, "Ingat permintaan Miss Jung? Dia bilang kita harus mengambil mustika agar bisa pulang–"

"Kamu masih percaya sama orang gila itu, Na?" Jantungku berhenti berdetak. Itu adalah pertama kalinya aku mendengar Jeno memotong ucapanku. Sebelumnya dia tidak pernah, dan terus mendengarkan sampai habis–atau aku yang memang tidak pernah sadar. Jeno sangat berbeda sekali dari yang biasanya saat kami selalu bersama.

"Terus maumu apa, No? Kita udah lama di sini, udah kotor-kotoran, capek, dan kamu enggak lihat Mark hyung tadi? Wajahnya bonyok hampir penuh lebam. Juga Haechan, Junkai hyung, Renjun." Aku menjeda sejenak, mengambil napas dan melihat bagaimana reaksi Jeno dengan ekspresi terkejutnya.

"Kamu dengar gimana Miss Jung nyuruh aku tadi? Dia bahkan nyerahin tugas ini ke aku, berarti aku di sini yang penting, yang juga pegang kehidupan anak-anak lain. Kamu enggak tahu beratnya tanggung jawabku, No. Aku harus nyelametin mereka, termasuk kamu. Itu buat aku capek mental, No. Aku gak mau orang-orang yang kusayang seperti kalian semua harus rela menderita karena diriku. Aku gak mau hal ini terjadi lebih jauh, No, aku gak mau ...." Aku mengatakan kalimat panjang itu secara tak sadar, bahkan air mataku pun sudah membendung berlinangan keluar.

Keepers of The DarkTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang