• Act 2 Part 3

20 5 2
                                    

Jaemin Pov

"Jangan gitu, No. Geli, ih." Aku terus tertawa saat pinggangku dicubit. Itu geli sekali, Jeno tahu di mana letak kelemahanku yang satu ini.

Bahkan setelah dia berhenti menggelitiki, aku tidak bisa lepas dari rasa gelinya. Aku masih saja tertawa, sebelum akhirnya Jeno menghentikan aksi menggelitik diriku dengan berubah menjadi sebuah tatapan seram. Spontan aku terkejut, jarang sekali dia menatap seperti itu.

"Kenapa, No?" aku bertanya, tapi Jeno justru menoleh kesana-kemari tanpa menjawabku. Aku reflek juga mengikuti apa yang Jeno lakukan, dan barulah diriku sadar kenapa tatapan matanya begitu ngeri melihatku. Jeno memberikan tanda bahaya kepadaku.

Ini seperti bukan rumah terawat. Kalau dijelaskan dengan detail, buruk sekali keadaannya. Barang-barangnya berantakan, pecahan beling di sana-sini, peralatan makan ada di lantai yang masih beralaskan tanah. Di langit-langit juga sama kotornya. Lumut, jaring laba-laba, sampai aku bisa mencium bau lembap dan apak di sini.

Miss Jung kenapa memilihkan rumah seperti ini untuk kami tinggali selama liburan. Sebanyak apapun aku berpikir, sepertinya memang hal ini tidak baik. Atau bisa jadi, beliau juga tidak tahu kalau penginapannya buruk sekali. "Jeno, kita harus bilang ke Miss Jung. Enggak ada yang mau tidur di sini kalau macam kapal pecah begini."

Tapi Jeno diam saja. Tidak tahu dia mendengarkanku atau tidak, Jeno malah menarik tanganku. Dia bilang, "Jaemin, menurutmu ada yang aneh, gak?" Otomatis aku mengangguk. Jangan tanya, dari sebelum berangkat tadi firasatku aneh terus. Entahlah, kini aku malah memikirkan pesan Mama saat kami berbincang-bincang di alam bawah sadar tentang 'Sesuatu yang besar akan terjadi'. Tapi aku tepis lagi pemikiran itu dan mecoba positif thinking saja.

"Kita bilang ke Miss Jung aja dulu, baru mikir." Ganti aku yang menarik tangan Jeno. Sebelum menyentuh kenopnya, aku mendadak kaku. Jeno menepuk bahuku dan bertanya kenapa. Kedua mata kami terkunci.

"Jeno, kenop pintunya beda."

Aku tahu ini benar-benar aneh. Maksudku, apa kami mendadak di adegan suatu film atau bagaimana? Mereka yang ada di keadaan seperti ini, lalu sadar kalau sedang ada di dunia lain. Apa sama dengan kami di dunia nyata ini?

Hal itu membuatku bergegas untuk membuka pintu. Dan pemandangan berbeda muncul begitu saja di depan kami.

Jangan berharap ada suara derum mesin yang bergetar, juga derap langkah, terlebih dengung manusia bergumul. Saat aku membuka kenop pintu itu dan berjalan keluar dari rumah penginapan kami, alangkah terkejutnya Aku dan Jeno. Bagaimana tidak! Dihadapan kami terpampang jelas sebuah kota. Kota ini sungguh sunyi, lumut pun debu menempel membantu identifikasi. Kami tidak tahu apakah salah melangkah atau salah menyadari tentang apa yang terjadi di sini, tapi satu hal yang harus dihadapi adalah 'ini asing' dan 'ini bukan mimpi'. Kota ini nampak berbeda, sangat terlihat tetinggal sekali dari peradaban manusia yang sekarang.

Aku tidak peduli sebelumnya dengan teori mistis seperti ucapan orang-orang dewasa saat berkerumun. Hanya saja sekarang rasanya aku tertampar. Kesunyian kota yang aneh ini membangunkan bulu kudukku.

Akan sesuram apa liburanku kali ini?

"Nana ...." Aku tahu apa yang ingin Jeno katakan. Sekilas kugelengkan kepala, tidak ingin mendengarkan apa-apa untuk saat ini. Pemandangan kota luas dengan jalanan besar seperti ini membuatku pening. Kami tadi ada di desa, bukan kota.

Aku berkata dengan tenang, "Kita cari yang lain." Tidak peduli apa Jeno menuruti ucapanku atau enggan, aku hanya tidak ingin sendirian bersama kekasihku di sini. Bersama-sama mencari jalan keluar lebih baik dilakukan daripada egois menyelamatkan diri. Aku juga tadi sudah tersadar, ternyata Aku dan Jeno terpisah dari anak-anak yang lain. Memikirkan hal-hal buruk yang bisa saja terjadi malah membuatku tak tenang.

Keepers of The DarkTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang