Dunia telah berubah kembali. Mereka berempat shock tidak main. Mendapat kekuatan magis dari lahir sudah membebani hidup, kali ini harus ditambah pula dengan tugas berat untuk menyeimbangkan antara dunia nyata dan ghaib. Mereka hanyalah bocah kemarin sore, yang hampir menapaki umur dewasa dan belum lepas sepenuhnya dari kata labil.
"Menjaga dua dunia? Mana ada hal seperti itu!" Donghyuck kembali mengomel. Semua perasaan menciut dari hatinya lepas setelah tidak berhadapan lagi dengan si bungsu dengan boneka kayunya. "Kukira aku cuma lahir dengan kelebihan punya ilmu putih, tapi ternyata ada tugas berat. Kalau begini jadinya aku mau jadi orang normal saja!"
Mark menanggapinya dengan rangkulan, sebab tahu bahwa anak itu sedang diliputi amarah. Mereka semua sama-sama terkejut dengan hal itu, tapi menolak pun tidak bisa. "Enggak ada cara lain, Hyuck. Kita harus menerimanya." Lelaki itu mengusap bahu Donghyuck, mencoba untuk meredakan emosi.
Junkai menimpali, "Benar. Lagipula, masalah kita hanya Miss Jung, kan? Kalau dia hilang, semuanya selesai. Setahuku tidak ada pengguna ilmu hitam lain yang sekuat Miss Jung."
"Memangnya kau yakin, hah?" Donghyuck masih saja tidak terima, semua nada ucapannya terkesan sinis dan semena-mena.
Junkai hanya membalas dengan bahu terangkat, merasa tahu bahwa tidak baik menanggapi orang dalam kungkungan emosi. Yang ada justru perdebatan tidak berujung dan menyebarkan amarah pada pihak lain.
Melihat suasana tidak kondusif dengan perasaan masing-masing, membuat Mark menitahkan mereka agar istirahat terlebih dahulu. Ia bersama Junkai lantas pergi memisahkan diri untuk membahas bagaimana rencana selanjutnya, sementara sisanya ditinggalkan di bawah pohon rindang.
Tidak ada percakapan antara Renjun juga Donghyuck. Satu-satunya suara yang terdengar hanyalah gesekan ranting juga embusan angin yang melambai – dan mungkin detak jantung terdengar dalam tubuh masing-masing.
Renjun mungkin ingin memulai berbicara terlebih dahulu, tapi mengingat bagaimana emosi temannya tadi membuat dia mengurungkannya. Lagipula apa yang harus dibicarakan. Sekalipun mereka cukup dekat terlebih selama beberapa tahun ini, tapi Renjun bahkan jarang sekali memulai pembicaraan. Bukan canggung, hanya tidak bisa.
Walau begitu benaknya sungguh ingin berbicara sesuatu untuk mencairkan suasana. Terlalu lama diam seperti ini tidak baik, terkesan mereka sedang bertengkar padahal nyatanya tidak. Tapi ... apa yang harus dibahas? Kalau saja Renjun lebih berani sedikit ....
"Renjun-ah/Donghyuck-ah."
Masing-masing terdiam. Terkejut saat saling memanggil satu sama lain. Akhirnya mereka justru hanya diam, menunggu salah satu berbicara terlebih dahulu.
"Kau duluan/Duluan saja."
Lagi-lagi mereka terdiam. Sesaat berlalu, alih-alih jawaban, justru tawaan yang keluar dari mulut. Ini cukup geli, dua kali berbicara hal yang sama dan terjadi bersamaan.
"Tidak, sungguhan, Hyuck. Kau duluan."
Donghyuck mengangguk. Ia menghela napas terlebih dahulu sebelum berbicara. Seperti ada sesuatu yang membebani hingga dadanya sesak. "Pernah sampai ada pikiran kita seperti ini, tidak?"
Sejenak hening, lantas Renjun menggeleng. Ia meringkuk, lantas berkata, "Belum. Kukira aku cuma terlahir jadi anak indigo, tapi malah lebih parah."
"Aku juga."
Keduanya kini membuang napas berat. Hening lagi-lagi menguasai, yang lantas dipecahkan oleh atensi dari Donghyuck. "Menurutmu, anak seperti kita bisa melakukannya?"
"Melakukan apa?"
"Melawan Miss Jung, menjaga dua dunia, meneruskan tugas three sister ...." Di akhir kalimat Donghyuck mendesiskan bibirnya. Masih ada bagian dari dirinya yang belum percaya hal ini terjadi. Renjun tahu itu, dia sadar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Keepers of The Dark
Fiksi PenggemarJangan berharap ada suara derum mesin yang bergetar, juga derap langkah, terlebih dengung manusia bergumul. Kota ini sungguh sunyi, lumut pun debu menempel membantu identifikasi. Kami tidak tahu apakah salah melangkah atau salah menyadari tentang ap...