[ 17 ]

388 71 20
                                    

In author's eyes..

_______

Hari - hari setelah menjauhnya Joandra sesuai permintaannya kala itu, Arsaka kembali pada suasana penuh keheningan persis seperti dulu ketika Joandra belum masuk ke dalam hidupnya.

Ia menjalani aktivitasnya tanpa memedulikan perasaan hampa yang mendera hatinya tanpa permisi.

Kalau boleh jujur, Saka tidak menyesal telah meminta Joan agar menjauh. Dalam hati ia tidak ingin sahabatnya itu hidup dengan penderitaan akibat hinaan orang - orang sekitar atau dijauhi hanya karena preferensi seksual-nya 'sedikit' berbeda. Persis seperti yang ia alami dulu.

Yang dia sesali saat ini adalah.... dirinya yang pengecut.

Arsaka berbohong soal perasaannya sendiri dan tak bisa mengatakan bahwa tidak hanya Joandra yang memendam rasa lebih.

Arsaka tak bisa jujur bahwa dirinya juga... telah jatuh.

Saka terlalu takut untuk menerima konsekuensi 'hubungan antar sesama' yang berlaku pada lingkungan minim toleransi di tempatnya tinggal saat ini. Terlebih, Joan merupakan anak tunggal dari keluarga terpandang.

Masa depan Joandra pasti telah diatur sedemikian rupa oleh Ayahnya meskipun hubungan mereka sedang renggang saat ini.

Satu - satunya jalan yang terlintas di benak Arsaka kala itu hanyalah menciptakan jarak antara mereka.

Berharap supaya perasaan itu perlahan lenyap dimakan waktu.

.

Derap langkah berbalut sepatu menggema di sepanjang koridor lantai dua.

Setiap pagi, Saka akan mendapati bermacam makanan atau minuman di dalam loker yang memang tak pernah dikunci nya itu. Jadi, ia memutuskan untuk datang ke sekolah lebih awal demi mencari tahu siapa orang yang meletakkan semua itu di lokernya akhir - akhir ini.

Belum sempat sampai pada tujuannya, Arsaka mendengar suara langkah kaki lain di ujung koridor sana. Sontak ia cepat - cepat bersembunyi di celah lumayan besar antara loker dan dinding.

Ketika Saka mengintip sedikit, ia mendapati seorang siswa berperawakan mungil tengah berdiri tepat depan loker miliknya sembari menoleh kanan kiri, melihat situasi sekitar. Kemudian anak itu memasukkan sekotak susu vanilla dan juga sandwich ke dalamnya.

Saat hendak pergi, dengan cepat tangan kecilnya dicekal oleh Saka membuat si empunya terkejut.

Tindakan yang salah karena sepersekian detik setelahnya anak itu membalikkan situasi dengan memiting tangan Arsaka.

"A-ah, sakit. Lepas," keluh Arsaka.

"Eh?? Maaf! Aku refleks," ujarnya panik kemudian langsung melepas cekalannya.

Saka mengusap - usap tangannya yang kini terasa ngilu. Ni bocah pasti anak karate, refleksnya cepet banget, badannya kecil tapi tenaga nya nggak main - main, pikirnya.





"Lo ngapain di depan loker gue tadi?" tanyanya retoris.

Bukannya menjawab, siswa itu malah menatapnya polos, dalam hati Saka berteriak 'astaga kok imut sih??'

Ia tebak anak berhoodie abu - abu itu pasti siswa kelas sepuluh.

Namun tak lama setelahnya mata besar anak itu membelalak.

"Ah?! Kakak yang namanya Arsaka?!" serunya terkejut.

"Iya, gue Saka. Lo 'kan yang naruh snack di loker gue tiap pagi? Ada yang nyuruh lo?"

"A-aku Juna kak dari kelas sepuluh IPA dua," cicit anak itu.

Nggak nyambung.

Arsaka jadi gemas, "Ish, gue nggak tanya itu. Siapa yang nyuruh lo?"

Adik kelas yang ternyata bernama Juna itu menggeleng ribut sampai poninya meliuk liuk, "E-enggak ada yang nyuruh kak!"

"Bohong! Lo aja enggak tau gue, pasti lo cuma suruhan 'kan. Ngaku nggak??"

". . ."

"Nah, 'kan. Lo diem berarti bener kata gue."

Anak itu menunduk, seolah perbuatannya salah. Padahal hanya menaruh snack di loker diam - diam.

Oke, sekarang Arsaka merasa agak keterlaluan.

"Aku nggak boleh ngasih tau kakak meskipun udah ketahuan, nanti dimarahin," Juna masih menunduk, tangannya memilin ujung hoodie yang dipakainya.

Astaga. Sebenarnya sedari tadi Saka menahan diri untuk tidak mencubit pipi bocah gemas itu.

"Yaudah gini aja deh, lo gaperlu kasih tau identitas orang itu..." Arsaka menggatung perkataannya, membuat Juna yang penasaran pun mendongak.

"Tapi kalo gue sebutin namanya lo tinggal ngangguk atau geleng kalo tebakan gue salah ya? Ngerti?"

"T-tapi kak-"

"Joandra 'kan, yang nyuruh lo," potongnya.

Tepat sasaran. Juna diam sebentar sebelum akhirnya mengangguk.

Arsaka menghela napas.

Rupanya benar. Sebetulnya ia sudah menduganya dari awal. Lagipula, kalau bukan Joan siapa lagi yang dekat dengan dirinya? Tidak ada.

"Kok lo mau aja sih disuruh - suruh?"

Juna mengulum bibir menjadi garis lurus, membuat lesung pipinya terbentuk.

"Kakak itu bilang aku cuma harus mastiin kak Saka sarapan, itu aja. Gak ada maksud lain. Dia kasih aku uang empat ratus ribu buat beli snack selama dua minggu terus sisanya buat aku," ujarnya, astaga polos sekali anak ini.

Tatapan Arsaka melembut, dia memegang kedua pundak Juna, "Oke, makasih banyak ya Juna. Tapi ke depannya kamu nggak perlu lagi beliin kakak snack, lagipula kakak pasti sarapan kok dari rumah."

Duh, Arsaka mendadak jadi mode soft. Apalagi pakai aku-kamu, dia jadi teringat Jake.

"Tapi kak, ini baru seminggu. Uang dari kak Joandra masih banyak."

"Ssssttt, nggak ada tapi tapi. Kamu boleh simpen uang itu, Joan nggak akan ngomel kok tenang aja," ucapnya.

Arsaka mengeluarkan susu beserta sandwich tadi dari dalam lokernya kemudian menaruhnya di dekapan Juna.

"Ini buat kamu aja, oke? Dimakan ya, bye Juna~"

Belum sempat si adik kelas menjawab Arsaka sudah lebih dulu melesat ke lantai tiga, menuju kelas.

Perasaannya campur aduk saat ini.

_______

"Ah?! Kakak yang namanya Arsaka?!" -Junandika Adiputra

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Ah?! Kakak yang namanya Arsaka?!"
-Junandika Adiputra

niskala - jayhoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang