Malam hari yang gelap dengan hembusan angin yang dingin, menjadi suasana yang sangat cocok untuk Allisya berdiam diri di balkon, duduk diam pada sofa gantung dengan selimut di atas kakinya dan novel pada tangan kanannya. Hamparan bintang di langit dan bulan sabit yang berpendar menjadi teman Allisya membaca novelnya.
Sudah setengah buku ia baca, namun masih belum ada keinginan untuk berhenti membaca. Novel yang berisi tentang kehidupan dan persaudaraan yang tengah ia baca ini, jujur saja di hati terdalam Allisya ia merasa iri. Sangat seru sekali keluarga itu tanpa adanya perselisihan antara satu dengan lainnya, tidak seperti keluarganya.
Netranya yang semula membaca fokus pada susunan tulisan indah di atas kertas yang dijilid menjadi satu itu teralih kebelakang sebab mendengar suara pintu balkon terbuka. Aroma coklat panas menyeruak bersamaan dengan datangnya Zero yang membawa dua gelas coklat panas yang langsung diletakkan di meja kecil sebelah sofa.
"Sebentarrr...." Zero kembali berdiri tegak, berlari tergopoh-gopoh masuk kedalam rumah. Allisya hanya menatap kepergian pamannya dengan heran tapi tidak terkejut, memang sudah biasa tingkah pamannya itu diluar normal.
Malam ini sampai seminggu kedepan Allisya menginap dirumah Zero atas permintaan dirinya sendiri. Tadi Zero datang kerumahnya untuk sekedar berkunjung melihat keadaan adiknya dan keluarganya. Allisya yang tau itu merasa ia mendapat kesempatan untuk tidak dirumah dulu untuk sementara, dirumah hanya membuatnya merasa semakin tertekan apalagi setelah mendengar penuturan Kevin. Jadi, langsung saja Allisya merapikan bajunya dalam tas, ia bawa tas itu turun ke bawah ketika mendengar Zero ingin pulang, dengan pelan Allisya izin kepada Kindana kalau ia ingin menginap dirumah pamannya itu.
Tak hanya Kindana, Zero pun tampak sedikit terkejut. Sangat tumben Allisya ingin menginap dengan inisiatifnya sendiri. Maka setelah berfikir dan dibujuk oleh Zero, Kindana mengizinkannya. Awalnya Kindana batal setuju ketika Allisya menambahkan ingin menginap disana selama seminggu, menurutnya itu terlalu lama. Tapi setelah mengamati wajah Allisya yang tampak lelah dan butuh istirahat, Kindana akhirnya dengan berat hati mengijinkan. Tak apa, toh itu rumah pamannya sendiri bukan orang lain. Kalau orang lain, mungkin Kindana akan menolak mentah mentah izin dari anak itu.
Allisya berlalu mendekati pagar pembatas, duduk lesehan disana dan kembali menoleh ke pintu balkon ketika mendengar suara langkah kaki. Itu Zero, dia datang lagi dengan gitar di tangannya kanannya, tak lupa ponsel di genggaman tangan kirinya. Zero langsung memposisikan diri duduk di sebelah keponakannya dengan memangku gitar diatas pahanya.
Allisya masih memperhatikan Zero yang terus bergerak sampai pria itu mendapatkan posisi nyaman nya "Om ngapain?" Tanya aslinya pada akhirnya setelah memperhatikan Zero yang tidak jelas.
"Mau ngamen ini, Sya." Balas Zero asal. Pria itu memandang kearah langit yang bertabur bintang lalu mulai memetik senar gitar dengan random tapi bisa dinikmati suaranya "Canda, nemenin kamu lah. Kita sama sama orang yang kesepian, harus saling menemani."
Allisya tersenyum ia kembali menyandarkan tubuhnya pada sandaran sofa dan ikut menatap langit. Novel yang tadi ia baca, kini sudah tertutup rapat dan ia simpan dengan apik di atas pahanya. Allisya menoleh menatap Zero, sadar dirinya ditatap, Zero juga balik menatap Allisya "Itu tadi Om bawa Coklat panas, masih mendidih tadi airnya, paling sekarang belum dingin ya. Diminum gih, biar anget badannya."
Menurut, Allisya meraih satu gelas dan menyeruput coklat itu dengan pelan, baru sedikit air menyentuh ujung bibir atasnya, Allisya menaruh lagi gelas itu "Masih panas, nanti aja."
Zero hanya mengangguk. Tangannya kembali memetik senar senar gitar, kali ini dengan nada yang jelas. Suara gitar sudah membentuk nada, tapi pemetik gitar masih belum mengeluarkan lirik yang sesuai nada itu. Sampai satu kali reff, Allisya mengerutkan dahinya, sepertinya Zero hanya ingin memperdengarkan instrumennya saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
RESPIRAR
Teen Fiction"When one door of happiness closes, another opens but often we look so long at the closed door that we do not see the one which has been opened for us." - Helen Keller Kebahagiaan? Apa itu kebahagiaan? Allisya tidak merasakannya. Tapi, Allisya yaki...