Fifteen

175 39 5
                                    

Kedua manik sayu itu melontarkan tatapan hampa pada lembar kertas hasil ulangan Fisika di hadapannya. Nilai A+ yang mengisi bagian sudut kertas itu bukan hal istimewa lagi untuk Mark. Tidak ada materi pelajaran yang terkecuali untuk Mark raih dengan nilai tertinggi.

Perihal kejadian malam kemarin, Mark sudah tidak ingin memikirkannya lagi. Kini luka itu Mark biarkan basah tanpa terobati. Denyut nyeri jelas masih mengarungi kepala. Tak apa, ini bukan lagi hal yang biasa. Luka-luka itu sudah menjadi makanan tiap kala Mark tak mampu memenuhi keinginan sang Papa. Kejam, memang. Namun melawan pun tak akan berakhir menang.

Sejauh ini Mark menyadari, kehadirannya di bumi hanya untuk diperbudak hingga mati.

"Woy, berapa?" Senggolan kecil dari lengan Lucas membuyarkan lamunan Mark.

Lucas melirik lembar hasil ulangan milik Mark, selanjutnya hanya helaan nafas kecil yang Lucas suarakan.

"Gue nyaris lupa di atas A masih ada A+."

Mark tak banyak menanggapi, hanya melirik sekilas kertas ulangan milik Lucas, selanjutnya ia segera membenahi alat tulis untuk dimasukkan ke tasnya. Ini jadwal pelajaran terakhir dan Mark masih memiliki jadwal kelas untuk menjadi pembimbing persiapan Olimpiade IPA yang akan diadakan kurun waktu satu pekan lagi.

"Terima kasih untuk kelas hari ini, sampai jumpa di kelas selanjutnya. Selamat siang," ucap guru materi Fisika itu, lalu meninggalkan kelas setelah diberi salam  oleh murid kelas.

Mark meraih tasnya untuk ia daratkan di pundak, lalu segera melangkah keluar kelas. Lucas mengikuti karena mereka sepakat untuk mengunjungi perpustakaan sekolah setelah jadwal pulang.

"Mark, tunggu."

Mark menghentikan langkahnya tepat setelah beberapa langkah melalui pintu kelas. Lalu menoleh pada pemilik suara yang berdiri tak jauh di belakangnya. Mark tak merespon, hanya memberi tatapan datar sebagai jawaban.

Lami mengulum bibir sebelum bersuara.
"Hmm...gue pulang bareng lo, ya?" pinta Lami ragu-ragu.

"Gue ada kelas." Tak butuh respon selanjutnya dari lawan bicara, Mark memilih melangkah pergi.

Namun jiwa ambisius Lami tak menerima penolakan. Lami mendahuli Mark untuk menghalangi jalan lelaki itu.
"Lo kenapa sih akhir-akhir ini menghindar dari gue?"

"Biar lo punya kesadaran, terlalu memaksa gak akan memberi hasil yang baik."

Ya, tak terhitung sudah berapa kali Mark melontarkan kalimat sarkas pada Lami. Mark sudah melangkah pergi meninggalkan gadis itu yang kini hanya mampu membisu. Lucas yang menyaksikan jelas hanya menepuk pelan pundak Lami, lalu menyusul Mark pergi.

Sebelum benar-benar pergi meninggalkan kelas, Ara berjongkok untuk mengikat tali sepatunya yang sempat terlepas. Hari ini ia memiliki jadwal kelas tambahan di laboratorium untuk persiapan Olimpiade IPA pekan depan.

Selesai dengan sepatunya, Ara segera berdiri untuk melangkah menuju laboratorium. Takut-takut guru pembimbing hadir terlebih dahulu di sana.

"Eh!" Ara hampir terhuyung ketika lengannya ditarik tiba-tiba oleh seseorang.

"Kak Winwin?" Kedua alis Ara tertaut menatap lelaki di hadapannya kini.
"Apa lagi?"

"Pulang bareng gue." Tanpa izin Winwin kembali menarik lengan Ara, namun segera gadis itu sentak kasar.

"Gue ada kelas."

"Gue tungguin."

"Enggak."

"Terserah gue."

"Terserah gue juga mau pulang bareng lo atau enggak."

Ara hendak melangkah pergi, namun... "Jeara!" Ara tersentak untuk kedua kalinya ketika Winwin tiba-tiba menariknya ke dalam dekapan lelaki itu.

Pengagum Senja | Mark Lee Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang