Thirteen

356 45 8
                                    

Ara masih mempertanyakan soal ucapan Ayahnya tadi. Kala lelaki paruh baya itu menyapa Mark yang datang menjemputnya. Ayahnya berbicara seolah kenal akrab dengan Mark. Sempat mempertanyakan mengapa Mark tak pernah berkunjung dan berekanan dengan Kakak laki-lakinya, Jeno.

Yang menguasai benak Ara sekarang, jika benar Mark teman Jeno, mengapa Kakak laki-lakinya itu meminta dirinya menjauhi Mark bahkan sempat melontarkan kalimat ancaman padanya.

"Kakak temenan sama Kak Jeno?"

"Dulu," singkat Mark.

Ara mengangguk mengerti. Jika Mark menjawab "dulu", berarti sekarang hubungan Mark dan Kakak laki-lakinya sedang tak baik-baik saja. Ara tak ingin bertanya lebih jauh, memangnya dia siapa ingin mengetahui segala tentang lelaki itu. Ara tak ingin membuat Mark tak nyaman dengan pertanyaan-pertanyaannya.

Kini mereka memasuki salah satu pusat perbelanjaan besar di pusat kota. Mark tak tahu lagi harus pergi ke mana. Tak ada terlintas satupun ide dipikirannya. Pada akhirnya Mark memilih mengajak Ara ke sana. Ara juga setuju-setuju saja dengannya.

"Ada saran? Kita harus ngelakuin apa di sini?" tanya Mark.

Ara juga tak tahu harus menjawab apa. "Hmm...Kakak--"

"Ra." Mark mendahului, membuat gadis itu menoleh cepat.

"Kenapa?"

"Boleh gak, gue minta lo gak usah panggil gue Kakak? Kita cuma beda satu tahun," pinta Mark.

Ara mengangguk walau ragu. Ia sudah terbiasa memanggil orang yang lebih tua darinya walaupun hanya setahun dengan embel-embel "kakak".

"I-iya Kak--maksud gue iya Mark."

"Mau nonton?" tawar Mark.

"Boleh." Ara menyetujui.

Akhirnya mereka memasuki area bioskop. Setelah membeli tiket, pop corn dan soda, mereka masuk ke studionya karena sepuluh menit lagi filmnya akan tayang. Mereka memilih menonton film yang baru rilis satu minggu lalu. Pengunjung bioskop lumayan ramai. Wajar saja ini akhir pekan.

"Ra?"

"Hm?" Ara menjawab dengan mata yang masih tertuju pada layar bioskop.

"Boleh pinjam bahu?"

Ara menoleh cepat dengan sedikit tercekat. "I-iya." Setelah disetujui, Mark menyandarkan kepalanya pada bahu gadis itu. Ara bergeser merapatkan duduknya lebih dekat, agar posisi kepala Mark nyaman saat bersandar di bahunya.

Waktu membawa film itu hingga ke penghujungnya. Setelah selesai, semua penghuni studio segera keluar dari sana.

Mark melirik arloji hitam di tangan kiri, menunjukkan pukul sepuluh tepat. Berarti sudah dua jam mereka berada di sini.

"Mau main di timezone?" tawar Mark.

"Ayo!" Ara mengangguk antusias.

Setiap mengunjungi mall, Ara memang tak pernah melewatkan bermain di timezone. Sangking semangatnya, entah sadar atau tidak, Ara tiba-tiba saja menarik pergelangan tangan Mark. Lelaki itu sempat tercekat, namun Ia tak menolak sama sekali.

"Street basketball yuk?"

"Emang bisa?" Nada bicara Mark terdengar mengejek.

"Bisalah!" seru Ara antusias.

"Ayo!"

Setelah menggesekkan powercard pada mesin arcade street basketball. Mereka memulai permainan masing-masing. Mungkin karena sudah lama tak bermain, Ara sedikit susah untuk mengejar waktu agar poinnya melebihi batas target. Sedangkan Mark, Ia sudah melewati empat level permainan.

Pengagum Senja | Mark Lee Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang