Sixteen

145 34 4
                                    

Daksa tampan itu berdiri di sana, memaku pada balkon kamarnya yang mengarah ke halaman utama. Tilikan tajam yang dominan kosong itu mengarah pada dua atma di bawah sana. Mereka yang selalu sibuk pada dunianya hingga tak acuh pada jiwa-jiwa yang tak sadar telah mereka buat begitu terluka.

Jika diberi peluang untuk kembali pada masa-masa yang sudah berlalu. Yang akan Jeno pilih adalah kembali pada kehidupan di mana kasih sayang dan perhatian sang Papa masih menjadi miliknya, tanpa harus berbagi.

Jeno baik-baik saja tumbuh tanpa Mama ketika kedua pasutri itu memutuskan untuk talak pada usia Jeno yang masih berpijak lima tahun. Ia dibesarkan oleh sang Ayah dengan campur tangan asisten rumah tangga. Jeno rasa ia tak butuh sosok seorang ibu kala itu.

Hingga kini Jeno harus berbagi. Tidak. Kasih sayang itu sudah bukan milik Jeno lagi. Dihari-hari pertama kala Jeno belum bisa menerima kembali utuhnya keluarga, Papa malah mengabaikan seolah Jeno bukan apa-apa. Papa mencurah penuh kasih sayangnya pada Mama dan Ara, tak acuh pada Jeno yang diam-diam terluka.

Jeno tidak butuh Mama, hidup dengan Papa sudah menjadi hal yang biasa.

Jeno benci ketika Papa bertutur kata lembut pada Ara, dibanding dirinya yang selalu menerima gertakan yang memekakkan telinga. Tidak sadar kah Papa bahwa perubahan sikapnya berpengaruh besar pada perangai sang putra sulung?

Hingga pada titik ini, Jeno masih tak menerima kehadiran Ara dan Mama. Ia berpijak tetap pada langkahnya, memberontak, tak acuh pada Mama, mengabaikan Ara hingga menulikan telinga pada omongan-omongan Papa.

Di bawah sana, tepatnya halaman utama. Sepasang suami istri itu tengah sibuk memasukkan beberapa koper untuk diletakkan pada bagasi mobil. Donghae, pria kisaran empat puluh tahun itu memiliki jadwal pertemuan di luar kota untuk beberapa hari kedepan.

"Di mana Jeno?" Pria itu membuka suara sembari membenahi letak koper di bagasi mobil.

Sang istri lantas menoleh. "Di kamarnya mungkin, dari tadi pulang sekolah gak keluar kamar."

Pria itu tak bersuara sejenak, lalu menghela nafas. "Sikapnya masih sama?" Pertanyaan itu sukses menarik sepenuhnya atensi Tiffany.

Ibu dari dua anak itu tersenyum. "Gak apa, Jeno masih dalam proses. Jangan terlalu keras padanya, dia butuh kasih sayang kamu."

Pembohong besar jika pria empat puluh tahun itu tak menyadari akan perubahan sikap si sulung yang semakin hari kian menjadi. Dirinya yang tak peka atau sang putra yang terlalu sulit diterka?

Keputusannya perihal rujuk dengan sang istri adalah langkah yang tepat untuk membayar segala kesalahan di masa lalu. Donghae meninggalkan putri bungsunya pada usia balita, jelasnya Ara tumbuh tanpa belaian dari sang Ayah. Menafkahi dari kejauhan bukan solusi, pada akhirnya Donghae memilih kembali demi memperbaiki kesalahan yang ia janjikan tak akan terulang lagi.

Di sisi lain, Donghae seolah kehilangan sosok pangeran kecilnya. Jeno tak menerima fakta bahwa ada sosok lain yang harus Donghae bawa dalam rangkulannya. Membuat sang putra mengerti adalah hal yang gagal Donghae lakukan hingga gini. Dirinya akui, ia bukan sosok ayah yang baik.

"Assalamualaikum! Pa, Ma." Salam sapa dari seorang gadis yang baru saja memasuki halaman utama itu menarik atensi keduanya.

"Waalaikumsalam, sama siapa itu?" Tiffany menyambut kedua daksa di sana dengan secercah senyum ramah.

Ara melangkah mendekati kedua orang tuanya diikuti Mark yang tertinggal beberapa langkah darinya. Menyalami keduanya terlebih dahulu adalah hal yang sudah biasa Ara lakukan ketika pulang sekolah. Mark ikut menyambut tangan kanan kedua daksa di sana.

Pengagum Senja | Mark Lee Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang