Seventeen

211 36 9
                                    

Purnama menggantung sempurna pada bumantara gelap gulita. Kepulan payoda menelan lelap asterisk hingga pancarnya lenyap. Gemercik gerimis menjadi alunan merdu pada malam yang sendu, berteman dengan keluh kesah jiwa-jiwa yang tengah dilanda resah.

Daksa dengan atma hampa itu menjatuhkan kepalanya pada punggung kursi yang ia duduki. Kaca mata anti radiasi itu masih bertengger pada batang hidungnya, manik kelamnya tertuju pada layar monitor.

Ketika tak mampu berbagi cerita pada siapa-siapa, ketikan jemari-jemari indah itu akan menjadi tempat terakhir untuk mencurahkan segala resah. Mark selalu melakukan itu, alibinya ia tak pernah ingin berbagi luka. Membiarkan nestapa bersemayam di dalam dada atau sewaktu-waktu akan sembuh dengan sendirinya sudah menjadi hal monoton.

Pernahkah kau berpikir untuk apa kau dilahirkan? Orang-orang mengukir seutas garis bibir haru ketika suara tangis mu menguara dikala daksa mu tiba. Kau dituntun melangkahi masa-masa 'bahagia' hingga berada di titik yang akan kau sesali. Yaitu tumbuh dewasa.

Jelasnya, seorang anak tidak pernah meminta dirinya dilahirkan. Lalu mengapa, ketika mereka beranggapan kau mampu melangkah sendiri tanpa tertatih, mereka menguara seolah menuntut balasan karena kau telah dibesarkan?

Pernahkah kau berandai, jika saja kau diberi kesempatan untuk memilih dilahirkan dalam keadaan seperti apa? Ah, aku sendiri akan meminta untuk tidak dilahirkan. Aku iri pada jiwa-jiwa mereka yang memiliki kehidupan damai di atas sana.

Pemikiran yang suram bukan? Lupakan saja.

Sejauh ini, Tuhan masih membiarkan ku menatap semestanya. Mungkin akan ada bahagia yang berpihak padaku kelak, semoga saja. Entah itu melalui perantara seseorang, atau aku sendiri yang harus bergerak untuk mencari titik terang.

Ya, alur hidup seorang 'Mark Jonathan Grissham' sejauh ini hanya untuk menemukan kebahagiaan.

Titik menjadi akhir dari sekian baris yang Mark tulis. Selanjutnya, ia menarik asal layar monitor hingga menyatu pada papan ketikan tanpa mematikan terlebih dahulu. Kaca mata itu sudah tak bertengger lagi pada wajah tampan sang atma. Jemari Mark menyisir helaian surai kelamnya sebelum ia beranjak dari kursi dan melangkah mendekati kaca jendela yang sengaja terbuka.

Telapak tangan Mark bertumpu pada tepian jendela. Tatap daksa tampan itu menegak pada langit kelam. Kepada malam yang temaram, Mark bergantung harap pada pemilik semesta dan jiwa-jiwanya.

"Tuhan, Mark lelah."

"Maaf mengeluh lagi." Bibir mungil itu berbisik lirih, kepalanya jatuh tertunduk bersama kristal bening yang telah luluh.

Air mata itu tidak akan pernah melepaskan beban apa- apa dalam benak Mark. Pun jika dirinya tenggelam dalam badai tangis yang ia cipta sendiri, tetap tak ada luka yang memulih dengan baik. Semuanya akan tetap berjalan sama dan Mark masih berada di tempatnya. Tempat sebagai seorang putra tunggal yang dituntut serba sempurna. Tempat di mana dirinya tidak akan pernah berhenti dihantam lara.

Sang pemilik semesta tentu tahu di mana titik lelahnya para jiwa-jiwa yang ia cipta. Jika manik kelam Mark masih diberi masa untuk terbuka pada dunia, maka Mark akan terus hidup hingga Tuhan sendiri yang akan menggiringnya pada titik akhir.

Mencari alibi tepat perihal untuk apa ia dilahirkan akan Mark abaikan. Menggiring langkah menyusuri hidup yang sudah diberikan hingga menemukan titik akhir perjalanan kini akan menjadi tujuan.

🌇🌇🌇

Kantin lazimnya lebih ramai pengunjung ketika jam istirahat pertama. Berebut meja, mengantri makanan, bergunjing sudah menjadi alunan monoton yang menguara ketika jam istirahat tiba.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 12, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Pengagum Senja | Mark Lee Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang