Masalahmu setara dengan kemampuanmu, dan apa yang kamu dapatkan setara dengan apa yang kamu perjuangkan.
***
Siang yang terik, Arunika memindahkan bunga-bunga di teras yang hampir terkena sinar matahari.Setelah semuanya beres, ia kembali ke dalam sembari mengipas-ngipas wajahnya dengan tangan.
Lalu duduk sembari menatap sekeliling, semuanya rapi, Pak Ilham sepertinya sudah menata semuanya dengan baik.
Beberapa saat kemudian pintu dibuka bersamaan dengan suara lonceng, Arunika menoleh. "Selamat datang, cari bunga apa Pak?" Sapa Arunika ramah pada pria bersetelan jas di depannya.
"Emm, yang paling cantik dan mahal," ucap pria itu.
"Tapi bentar saya tanya istri saya dulu," tambahnya.
Arunika hanya menganguk dan menatap pria itu memanggil istrinya yang melihat bunga di teras toko.
"Mah, mau bunga apa buat Cika?!"
Arunika yang memilah-milah bunga paling bagus sontak menoleh ke arah teras yang terlihat karena jendela kaca yang besar.
Lalu menghela nafas dan bergumam, "nama Cika kan banyak, pasti bukan Cika dia, semoga Tuhan, jangan dia!"
"Cari di dalam aja, di luar pasti udah layu!" Pria itu kembali masuk ke toko dengan istrinya yang mengikutinya.
"Bisa tunjukkan bunga paling bagus kalian?" Tanya Pria itu yang melihat Arunika sibuk sendiri.
Arunika mau tidak mau menoleh, dan pandangannya langsung tertuju pada wanita paruh baya di samping pria itu.
Hanya sebentar, Arunika langsung mengalihkan pandangannya. "Ah, iya Pak, mari ikut saya," ucapnya kemudian.
"Semua bunga di tempat kami, semuanya bagus, dan istimewa, tapi ini dibuat khusus oleh Baba saya, maaf Bos saya, untuk diberikan pada orang terkasih," ucap Arunika.
"Gimana mah, mau yang mana?" Tanya Latif, tapi Mona tak menjawabnya, ia justru menatap serius Arunika.
Latif berdehem. "Mah!" Tegurnya.
Rose sadar dari lamunannya, ia tersenyum canggung. "Gimana kalau yang itu aja," ucap Rose menunjuk bunga mawar merah dan daisy yang dipadukan dalam buket.
Latif menganguk-anguk. "Kita ambil yang itu," ucapnya.
Arunika mengambil buket itu dan memberikannya pada Latif.
"Kamu kayaknya seumuran anak saya, kenapa gak sekolah?" Tanya Latif.
Arunika tersenyum kecil. "Yah gitu lah Pak, di sekolah saya kekuasaan bisa mengubah kebenaran, ada orang jahat yang lagi usil sama hidup saya Pak," ucapnya.
Latif menganguk-anguk. "Emang sekarang yang paling penting itu uang, tapi kenapa masih ada orang jahat yang nindas anak sekolah begini," ucapnya tak merasa bahwa ucapan Arunika ditujukan kepadanya.
Ingin rasanya Arunika tertawa, tapi ia menahannya. "Gak tahu juga Pak, saya aja bingung, apa dia gak punya otak kali yah?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Arunika
Teen FictionArunika, tak sehangat matahari pagi. Arunika justru dikenal sebagai gadis dingin yang tidak ingin punya teman. Misterius dengan kedinginannya yang menyimpan banyak luka masa lalu, menjadikannya gadis yang tak percaya akan kehangatan suatu hubungan...