1 Insiden Pulpen

25 5 0
                                    

Beberapa diantara mereka hanya ingin tahu masalahmu, tidak benar-benar peduli. Lantas, untuk apa menceritakan keadaanmu pada mereka?

***
Husni menatap sendu pada pintu kamar berwarna coklat tua itu. Pikirannya berkecamuk, ia bingung sekaligus kesal dengan semua yang terjadi.

Dering telepon membuyarkan lamunannya, Husni mendekat lalu menjawab telepon itu.

"Halo."

Husni terdiam sejenak, suara itu yang yang beberapa hari ini ia tunggu-tunggu untuk menelpon. Suara putrinya.

"Ada apa?"

"Maaf ... bu."

Rasanya Husni ingin sekali marah, ia ingin meneriaki anak yang sama sekali tak pernah berbakti padanya itu.

"Untuk apa, maafmu sudah terlambat."

"Sampaikan ini pada ... Arunika."

"Arunika mungkin akan memaafkanmu suatu saat, tapi hatinya sudah benar-benar sakit sekarang, jangan harap aku akan membiarkanmu bertemu dengannya!"

"Ibu ..."

Husni menutup sambungan telepon, ia sungguh tak sanggup dengan semua ini. Bagaimana dengan cucunya yang mengalaminya secara langsung.

"Nek ..."

Husni berbalik, Arunika masih menatapnya di depan pintu kamar.

Husni tersenyum. "Iya nak."

Arunika berjalan mendekati neneknya itu. "Arunika tau semua kok nek, biarin aja mama bahagia, Arunika nggak pa-pa, kan Arunika punya nenek." Arunika lalu memeluk Husni erat.

Husni mengelus rambut cucunya sayang. "Nenek tau, Arunikapasti kuat."

Arunika hanya menganguk, yang terpikirkan olehnya saat ini--hanya bagaimana ia bisa bersekolah tanpa berbicara pada siapapun.

Arunika muak dengan semua orang sok baik lalu ujung-ujungnya tetap meninggalkannya.

Arunika benci mereka yang selalu sok bahagia di depannya, seakan sengaja memperlihatkan betapa menyedihkan hidup Arunika.

Entah itu iri atau semacam apa, Arunika hanya benci mereka, semoga saja ia tak menemukan spesies manusia seperti mereka lagi.

***

Pagi yang cerah, sang surya perlahan menampakkan cahayanya seiring dengan kicauan burung yang menenangkan.

Arunika menatap jam di tangannya, pukul setengah enam, terlalu pagi untuk seorang murid berada di sekolah.

Arunika menatap gerbang sekolah di depannya, nama SMA Bakti Husada tercetak jelas di sana.

Arunika bersyukur gerbang itu sudah terbuka, dengan pak satpam yang sepertinya menyeduh kopi di pos.

Arunika berjalan sambil sesekali memerhatikan sekitar. Sekolah ini terlalu besar menurutnya, Arunika benci keramaian.

Kata Husni, sekolah ini adalah sekolah favorit, itu sebabnya ia mendaftarkan Arunika di sini.

Hanya saja, sejujurnya Arunika benci kata favorit, yang menjadi favorit pasti akan selalu ramai, entah itu tempat atau orang, yang menjadi favorit selalu menyebalkan untuk Arunika.

Arunika menatap sekitar yang masih sepi, hanya ada beberapa petugas kebersihan yang sibuk bekerja.

Andai saja sekolah ini selalu sepi seperti ini, Arunika akan sangat menyukainya.

ArunikaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang