21. Hari-hari Gistara

345 77 10
                                    

Rencana bertemu dengan ayahnya diundur menjadi hari sabtu karena katanya papa ingin berbicara banyak dengan Gistara. Sedangkan hari itu, ayahnya tidak punya banyak waktu luang.

Gistara senang-senang saja, artinya ia bisa mempersiapkan diri dan merancang hal-hal apa saja yang akan ia sampaikan ke ayahnya.

"Mas, papa suka nanyain gue nggak, sih?" tanya Gistara malam itu, saat Keandra baru saja duduk di sampingnya selepas mandi.

Keandra menatap adiknya bingung. "Sering banget, Gis. Kenapa?"

"Tanya apa? Kok nggak pernah nge-chat langsung?"

"Ya...tanya kabar. Lo sibuk apa, sehat nggak disana, lagi butuh barang apa, perlu pindah kosan atau enggak, mau mobil baru atau enggak. Papa juga tau lo kadang-kadang jadi model, papa kadang mantau itu brand mana,"

Gistara menghela napas panjang. "Tapi kenapa nggak pernah tanya langsung ke gue? Kalau chat juga balesnya lama banget,"

"Papa merasa bersalah sampai rasanya nggak pantes untuk komunikasi sama lo,"

"Bukan karena udah nggak sayang sama gue?"

Keandra tersenyum dan mengusap rambut adiknya. "Nggak mungkin dong, Gista. Papa ya tetep orang yang sama, he still loves you and will always do,"

"Beneran? Tapi kemarin gue wisuda, papa nggak ada, telpon juga enggak,"

"Tapi kirim bunga, kan? Itu papa sendiri lho yang pesen ke florist, nggak minta tolong Tante Sinta,"

Gistara tertawa pelan. Tante Sinta, tangan kanan ayah ibunya yang selama ini justru lebih berperan seperti orangtua bagi mereka bertiga. "Lama banget nggak denger kabar Tante Sinta," ucap Gistara. "Terus papa tanya apa lagi biasanya?"

"Sempet tanya lo ngerokok nggak di sana, temen-temen lo baik nggak, ikut kegiatan apa aja di kampus," jawab Keandra.

"Kira-kira papa marah nggak mas kalau tau gue ngerokok?"

Keandra dengan yakin menggeleng. "Besok kalau ketemu lo tanya langsung aja,"

"Gue kangen banget, tapi....sedih, kecewa banget juga," ucap Gistara membagikan keresahannya. "Papa tinggal dimana, sih, sekarang?"

"Iya, gue juga kecewa banget," ucap Keandra dengan hela napas panjang. "Papa tinggal di rumah deket kantor. Kalau mama di apartment,"

"Menurut lo bakal bisa rujuk nggak?"

Keandra menggeleng tidak tau. "Nggak berani berharap juga. Mereka nggak pisah secara hukum dan agama aja gue udah bersyukur," ucap Keandra sembari mendongak, menatap langit-langit rumah mereka.

Gista menggumam setuju. "Terus besok di nikahan Mbak Aira gimana? Keluarga besar tau nggak soal ini?"

"Tau," jawab Keandra. "Papa memutuskan buat bilang secara terbuka tentang kondisi ini, mama juga setuju, jadi ya hampir semuanya tau,"

"Hm, ya bagus juga, sih, kita nggak perlu akting kayak keluarga bahagia,"

Keandra terkekeh. "Bisnis juga tetep lancar, nggak dipisah, cuma mama lebih sering ngurusin yang di luar kota dan proyek kecil,"

"Gila, sih, gue nggak nyangka kita jadi begini," ucap Gistara sembari merebahkan kepalanya ke sandaran sofa.

"Ya sama, mana mereka nggak ada ribut-ribut gitu di rumah, eh tiba-tiba bubar aja,"

Gistara tertawa. "Ternyata yang terlalu tenang juga bahaya,"

"Lo jangan tenang-tenang mulu sama Mahesa, sekali-kali berantem," ucap Keandra.

EnchanteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang