Saat Nada membuka pintu kamarnya, Dhayu sudah duduk di ruang tengah. Ia sedang memegang sebuah majalah. Namun, Nada yakin ia tak benar-benar membacanya.
Mama pasti memintanya duduk di ruang tengah agar bisa mengobrol dengan Nada. Sedangkan Nada tak tahu harus memulai dari mana. Siang ini, ia baru saja tertampar. Ia tak ingin mengulang kesalahan dengan bersikap tak baik pada Dhayu.
Nada duduk di sofa, agak jauh dari posisi duduk Dhayu. Diperhatikannya laki-laki yang sedang membolak-balik halaman majalan Bola milik Eras, papa Nada.
"Oom masih langganan majalah bola, ya," tanya Dhayu tanpa memperhatikan Nada.
"Hmm, iya ... Kok, kamu tahu papa suka langganan majalah bola?"
"Dulu, setiap aku main ke rumahmu, yang kucari pertama tuh majalah bola. Setelah mencari kamu ...."
Ucapan Dhayu baru saja membuat pipi Nada merona. Jika ia dengar penuturan Dhayu beberapa tahun lalu, mungkin akan terdengar biasa. Namun, sekarang, mengapa jadi berbeda?
"Hmm, kamu apa kabar? Sejak kapan kembali?"
"Hum?" Dhayu mendongak menatap Nada. "Kabarku baik. Sejak lima bulan lalu sebenarnya."
"Kamu jahat banget. Kok, enggak ngabarin aku? Lalu, mengapa di sekolah kamu pura-pura enggak kenal aku?" Nada bersungut.
"Sengaja. Aku ingin lihat sejauh mana kamu ingat aku."
"Jadi, saat kejadian kamu nabrak aku di toilet itu pun, kamu sudah tahu?"
"Eitzzz, aku mau luruskan, ya. Aku enggak nabrak. Kamu yang nabrak aku," tegas Dhayu.
"Iya, iya. Maaf."
Dhayu melengkung senyum, "Iya, aku sudah tahu kalau kamu Nada. Sahabatku yang dulu pernah duduk sendirian dan menangis di pojokan. Sahabat kecilku yang menolak pertemanan denganku, sampai mengibaskan uluran tanganku. Sahabatku yang enggak mau diganggu saat sedang sedih."
Nada tidak menyangka Dhayu ingat semuanya. Karena terkesima dengan kenangan masa kecil yang masih terpatri dalam ingatan, Nada sampai lekat memandang Dhayu.
"Jangan bilang kamu terpesona sama aku." Dhayu menantang tatapan Nada, hingga membuat Nada salah tingkah.
"Kalau masih ada yang mem-bully kamu dengan penampilan kamu yang sekarang, hmm, mereka harus berhadapan denganku!" ucap Dhayu membuat Nada tak bergeming.
"Kok, kenapa memang?"
"Enggak apa-apa." Dhayu ingin bilang kalau Nada sudah banyak berubah sekarang tetapi ia tak mampu sampaikan.
"Ya, sudah enggak, kok," sahut Nada.
"Apa kabar Aya?" tanya Dhayu.
"Mengapa cuma Aya yang kamu tanyakan? Jangan-jangan ...," ujar Nada menggoda.
"Kamu cemburu lagi ...."
"Ihh, cemburu apaan? Kapan aku cemburu sama kamu? Tadi saat aku tanya kamu sama Sally ke mana sebelum latihan? Yaelaahh, Dhayu ... itumah bukan cemburu kali," jelas Nada.
"Iya, iya, enggak apa-apa kalau enggak mau ngaku," ucap Dhayu disambut ekspresi protes Nada, "Aku tanya soal Aya, karena dia dulu yang paling suka nge-bully kamu. Sampai teman-teman yang lain ikut-ikutan ngejek kamu. But, aku lihat-lihat, kamu sekarang agak putihan, kok."
"Kalau sekarang 'kan sudah besar. Aya sudah enggak seperti itu lagi," ucap Nada datar.
Dalam hati, sebenarnya Nada masih enggan jika bertemu dengan sepupunya itu. Sikapnya masih menjengkelkan. Diperparah lagi dengan sikap Tante Mirna yang membuat Nada terkadang tak nyaman. Maka, Nada seringkali menghindari pertemuan keluarga dengan berbagai alasan.
KAMU SEDANG MEMBACA
SERENADA
Teen FictionNada merupakan seorang gadis tumbuh dengan kasih sayang dari kedua orang tuanya. Namun, sebuah berita mencengangkan harus ia terima terkait asal usul kehidupannya. Nada mulai terombang-ambing dengan jati dirinya. Ia mulai pelan-pelan menguak kehidup...