Peningkatan suhu akhir-akhir ini berdampak pada pongahnya sang raja siang memancarkan teriknya. Bahkan, dampak dari gelombang panas di beberapa belahan dunia, tak urung berdampak pula sampai ke Indonesia.
Kini, dua orang yang sedang menerobos padatnya jalan raya berusaha sebisa mungkin tiba di rumah dengan segera. Dhayu sudah tak tahan dengan keringnya kerongkongan yang membuatnya harus diam sepanjang perjalanan. Ditambah ungkapan Nada baru saja tentang motor barunya yang akan tiba di rumah, membuat ada perasaan yang hilang dalam diri Dhayu.
Es sirup markisa baru saja diletakkan oleh Nada di atas meja. Tanpa ba bi bu, Dhayu sudah menggenggam gelas dan menenggaknya hingga tandas.
"Haus banget, ya? Sampe enggak lihat ada orang lagi," celetuk Nada.
"Makasih, ya. Maaf, gerah banget soalnya!" Dhayu membuka beberapa kancing bajunya agar ada udara berembus melegakan sedikit rasa panasnya.
"Ya udah, gih, minum aja punyaku," tawar Nada disambut kerlingan Dhayu yang langsung menyambar gelas satunya.
"Kalau masih kurang, di belakang ada kolam ikan juga, kok."
"Maksud loohh, gue suruh minum air kolam, gitu?"
"Ya, siapa tahu kurang." Nada kemudian berlalu dan kembali dengan seteko es markisa.
***
Nada akhirnya tiba di depan gerbang panti yang tiga tahun lalu pernah ia kunjungi dalam rangka kegiatan charity. Tempat ini pula yang kurang lebih delapan belas tahun lalu tempat ia menerima perawatan. Ia menjadi bagian dari panti ini, tempat yang pernah menghadirkan nyaman dan tangis.
Ya, silakan masuk." Seorang dengan kerudung panjang menyisakan Nada masuk.
Nada ingat, dulu, ibu kepala panti yang Nada ingat bernama Bu Yuni yang menyambut kehadirannya bersama teman-teman dulu.
"Nada dulu sempat ke sini untuk acara charity, Bu."
Bu Yuni semringah mendengar penuturan Nada. Selama ini, jarang orang apalagi anak muda yang sengaja datang untuk membuat program kemanusiaan seperti ini.
"Lalu, kedatangan Nada ke sini, soal yang lain." Lama Nada terdiam. Bu Yuni menyimak dan memperhatikannya seksama.
Nada belum mengucapkan apapun. Kini, air matanya sudah luruh membasahi pipinya. Bu Yuni mendekati dan mengelus pundaknya. Tak lupa, ia angsurkan kotak tissue, lalu Nada menarik tiga helai untuk menghapus air mata dan ingus yang keluar dari lubang hidungnya.
"Jadi, kedatangan Nada kemari, Nada ingin tahu masa lalu Nada."
Awalnya Bu Yuni tidak paham dengan apa yang Nada ucapkan. Namun, setelah dijelaskan, Bu Yuni mengerti. Anak yang sudah diadopsi oleh keluarga baru, biasanya ada yang tidak peduli dengan masa lalunya dan mereka memilih untuk melanjutkan hidup. Namun, banyak pula yang mencari tahu tentang siapa orang tua kandung dan latar belakangnya. Salah satunya Nada.
Setelah Bu Yuni menjelaskan semua prosedurnya, juga informasi dari Nada sendiri tentang kesediaan orang tua asuhnya untuk mengizinkan pihak panti memberitahukan masa lalunya, Nada bersiap dengan apapun informasi yang ia terima.
Bu Yuni membuka sebuah lemari kayu yang diletakkan di ruang tamu depan. Saat masuk, tamu langsung disambut dengan kokohnya lemari jati yang berdiri kokoh hampir sampai ke langit-langit.
Bu Yuni mencari pemberkasan masuknya anak panti dari keterangan tahun yang ditempelkan. Bu Yuni membenarkan posisi kaca matanya agar tak terselip informasi yang sudah disimpan lama sehingga meninggalkan aroma usang.
"Saya yakin pemberkasan sejak tahun 1990-an pun masih tersimpan rapi. Ibu saya orang yang teliti dan terperinci." Kalimat Bu Yuni tanpa respon dari Nada sama sekali. Dalam hati ia hanya berharap kunjungannya kali ini menemukan titik terang.
***
"Jika kelak anak ini datang kemari menanyakan siapa dirinya, saya titipkan ini, Bu." Murni, nama wanita itu, menyerahkan kain bercorak bunga-bunga sulur dominan merah dan kuning.
Ia meletakkannya di samping seorang bayi yang sedang tersenyum seolah ada yang sedang mengajaknya bercanda. Ia belum tahu, suasana kesedihan sedang meliputi hati Murni. Kesedihan akan perpisahan dengan buah hati yang dikandung dan dilahirkannya.
Murni mengecup kedua pipi dan kening bayinya. Putri kesayangan yang terlahir tanpa kasih sayang seorang ayah dan juga penolakan nenek dan kakeknya membawanya pada keputusan pelik. Kini, ia yang harus sanggup berdiri dengan keputusannya. Mengabaikan harapan yang mungkin saja terbentang. Namun, hatinya sudah terlanjur khawatir.
Murni berdiri lalu ia usap air mata di pipinya. Namun, air matanya lagi-lagi tumpah tak terbendung, merangsek keluar membobol pertahanan kelopak bawah matanya.
Ibu kepala panti mendekatinya, mengusap dengan halus. Baginya, pemandangan seperti ini biasa ia temui walaupun kenyataannya bayi-bayi yang tinggal di panti ini kebanyakan ditemukan tanpa tahu siapa orang tuanya dan siapa yang membuangnya. Namun, kali ini, ia harus menyaksikan sebuah pemandangan menyedihkan dari dua orang yang terpaksa berpisah.
"Jika kelak ia sudah dewasa mencari saya, sampaikan saja yang Ibu tahu. Jangan sembunyikan. Ia berhak tahu bagaimana ia bisa sampai di sini. Jika ia hendak menyalahkan saya, saya siap menerima tuntutannya." Murni tergugu pilu. Jika bukan karena lelaki sialan itu, hidupnya tak akan berakhir seperti ini.
Murni menyerahkan sebuah amplop putih agak basah karena hujan sore sampai malam. Di dalamnya terdapat sebuah surat yang ia tujukan untuk bayi itu kelak jika ia sudah dewasa.
***
Nada membaca kata demi kata yang tertulis di sebuah surat. Tulisan dari pena terlihat tebal sehingga tercetak di kertas baliknya. Untungnya cetakan dari pena itu tak menutupi tulisan dalam surat itu.
Anakku, kau pasti sudah besar sekarang. Kau boleh marah jika kelak kita bertemu. Namun, semua yang terjadi terkadang bukan mau kita hingga terpaksa ibu tinggalkan kau di sini pun itu bukan mau ibu.
Kau pasti tak ingin membaca alasan ini. Sebuah alasan yang seolah membela diri. Namun, percayalah, doa dan kasih sayang ibu untukmu akan selalu ada. Semoga kelak kita dipertemukan kembali dalam keadaan yang sama-sama lebih baik.Ibumu,
MurniNada tak kuasa menahan sepasang mata yang menerbitkan air di kedua sudutnya. Ia lipat kembali surat yang baru saja ia baca. Nada menatap kedua mata Ibu Yuni lalu pecahlah tangisnya.
Ibu Yuni mendekatinya, mengusap bahunya, "Nada, mohon maaf. Di buku besar tidak Ibu temukan alamat Ibu Murni. Namun, di sini hanya tercatat ia tinggal di Tanjung Bintang, Lampung Selatan. Tidak ditemukan detail alamatnya. Mungkin kau akan sedikit kesulitan menemukannya.
Nada mengangguk. Diambilnya kain bercorak bunga-bunga sulur merah dan jingga di atas meja, lalu ia masukkan ke dalam tas rajut merk Noek yang dibawanya.
Setelah mengucapkan Terima kasih kepada Bu Yuni, Nada membawa serta semua barang kenangan, juga sedikit informasi mengenai keberadaan wanita bernama Murni.
"Nada, seberat apapun kita menyangkal, selalu ada hal yang bernama takdir. Kita tidak bisa menahan dan membuatnya berlari. Jika takdir itu untukmu, maka kau harus menerimanya walau berat. Jika bukan buatmu, lepaskan tanpa menahan." Ucapan Bu Yuni membuat Nada sedikit tenang.
Ia harus percaya dan menyimpan baik-baik apa yang juga Neta, mamanya, ucapkan. Untuk tidak menyalahkan siapapun hingga Nada harus menjalani hidup selucu ini.
💦💦💦
Hai, Semua! Masih mengikuti cerita Serenada, 'kan? Jangan lupa tinggalkan komen dan klik tanda bintang di bagian bawahnya, oke.
🌈🌈🌈

KAMU SEDANG MEMBACA
SERENADA
Teen FictionNada merupakan seorang gadis tumbuh dengan kasih sayang dari kedua orang tuanya. Namun, sebuah berita mencengangkan harus ia terima terkait asal usul kehidupannya. Nada mulai terombang-ambing dengan jati dirinya. Ia mulai pelan-pelan menguak kehidup...