Bab 11

14 7 10
                                    

Nada menghela napas malas. Ia keluar dari kerumunan dan mendapati Dhayu di hadapannya. Ia harus mendongakkan kepala untuk melihat jelas ekspresi wajah pria jangkung itu.

Dhayu cengar-cengir senang  sedangkan Nada berusaha menyunggingkan  senyum. Namun, ekspresi Nada sebelumnya bisa ditangkap oleh Dhayu sehingga menimbulkan tanya pada dirinya.

"Kamu kenapa?" tanya Dhayu khawatir.

Nada menggelengkan kepala. Diikutinya langkah Nada menuju kelas. Beberapa pasang mata melihat sikap Dhayu yang perhatian, termasuk Sean.

Sean mencoba menepis cemburu yang mungkin sedang menjalar hatinya. Namun, ada sedikit keyakinan dari hatinya bahwa Nada pun menyambut perasaan yang kemarin sempat ia ucapkan. Maka Sean berusaha tak begitu memedulikan.

"Aku belum lihat bakal satu kelompok dengan siapa." Ucapan Dhayu membuat Nada menoleh kepadanya. "Apa kamu bersikap begini karena kita satu kelompok?"

Sepasang mata sendu Dhayu berhasil membuat hati Nada tersentuh. Lagipula, buat apa ia tunjukkan sikap berlebihan itu, bahkan di hadapan Dhayu. Nada memegang bahu pria tengil itu, lantas menyunggingkan senyum termanis di hadapan sahabat masa kecilnya.

"Kamu aneh."

Nada makin melebarkan bibirnya seperti badut. Dhayu sebentar kemudian tertawa melihat Nada yang tak pernah melucu. Keduanya tertawa bersamaan.

"Maafkan sikapku tadi, ya," ucap Nada.

"Benarkah dugaanku? Karena kita satu kelompok?" tanya Dhayu lalu menoleh ke arah Nada, "enggak ada yang perlu dikhawatirkan, Nada."

Nada mengangguk, lalu menatap Dhayu dengan semringah. Dhayu mendelik dan mengedikkan bahunya seolah bertanya.

"Habis ini aku mau ke rumah Tante Rosa!"

"Ke rumahku? Ngapain?"

"Enggak boleh? Aku mau ketemu Tante Rosa, geh! Mau kembalikan tupperware ... nanti bareng, ya, pulangnya."

"Hai, hai, kalian mengapa berduaan di sini?!" seru Sisil, lalu mengambil duduk di sebelah Nada.

"Pacaran ... eh, masak enggak lihat orang lagi ngobrol?" ralat Dhayu saat tatapan Nada sudah membola.

"Aku mau ke rumah Dhayu. Mau ikut enggak?" tanya Nada pada Sisil. Sisil senang mendengarnya.

"Motornya cuma cukup buat satu orang," sahut Dhayu.

"Oh, jadi cowok ganteng yang pake motor ninja, tuh, kamu?" tanya Sisil.

"Kok, kamu bisa tahu?"

"Yaelah, itu sudah jadi konsumsi umum. Banyak yang bilang. Tuh, coba lihat para cewek lihatnya ke sini. Kamu lagi viral, Dhayu!" seru Sisil, "tapi aku lebih mengidolakan Sean."

Dhayu terkikik. Ia sama sekali tidak menyangka sikap siswi-siswi di sekolah ini sebegitu berlebihannya.

"Coba kapan-kapan ke sekolahku sebelumnya. Abang tukang somay di kantin saja gantengnya mirip Rizky Billar. Aku mah enggak ada apa-apanya dibandingkan teman-teman yang lain. Lagipula ketampanan dan kecantikan itu hanya sementara. Buat apa mengagung-agungkan rupa kalau hati tak ditata?"

Nada dan Sisil tidak menyangka Dhayu bakal berkata seperti itu.

"Tuh, denger!" ucap Nada pada Sisil.

"Eh, kok, aku? Aku cuma suka Sean aja enggak boleh?"

"Sean ganteng ...," ujar Dhayu disambut delikkan Nada.

"Sean ketua PMR, 'kan? Dia enggak cuma ganteng tapi juga pintar dan berkharisma. Aku lihatnya, sih, begitu," tambah Dhayu.

"Tuh, Da! Dhayu yang cowok aja bisa bilang begitu."

SERENADATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang