Bab 9

24 8 19
                                    

Seorang wanita berusia 20-an tahun tertatih bingung. Dalam dekapannya, seorang bayi mungil nan cantik meringkuk dalam balutan selendang usang.

Malam mulai menggantung, sedang ia tak tahu lagi ke mana arah tujuan. Andai saja ia sendiri tanpa bayi ini, tentulah ia bebas ke mana pun pergi. Namun, wajah mungil tak berdosa ini telah memberatkan langkahnya.

Ia belai pipi yang tembam kemerahan. Sepasang matanya yang bulat mengerjap bercahaya. Ada senyum yang mengulas di bibir kecilnya. Entah dengan siapa ia tersenyum, usianya saja belum genap dua bulan. Tentu belum jelas mengenal wajah wanita yang menggendongnya.

Sebentar langkahnya terhenti. Sebuah plang tertulis Panti Asuhan Budi Asih mengusik pikirannya. Ada berat saat kemungkinan bayi merahnya ia titipkan di tempat ini, tetapi keinginan untuk tetap mendekapnya lebih kuat.

Wanita muda dengan seorang bayi dalam gendongannya melangkah ragu. Mungkin Tuhan telah membawa langkahnya kemari. Logika dalam otaknya mulai bekerja. Andai ia tetap mempertahankan egonya untuk merawat bayi ini, kehidupan layak seperti apa yang hendak ia janjikan?

Kembali ia terbayang sosok pria yang telah menelantarkan hidupnya dan sang bayi. Raut kebencian dan dendam begitu merasuk dalam sukmanya. Hingga dirinya pun terusir dari rumahnya yang hangat karena orang tua yang kecewa.

"Mbak, malam-malam begini mau ke mana?" Seorang pedagang bakso gerobak yang menunggu pelanggan menyapa dengan khawatir.

Ia masih sempat menengok bayi dalam gendongan. Tatapannya bergantian dengan wanita yang tampak bingung. Ia sadar, keadaan yang dihadapi wanita ini sedang tidak baik-baik saja.

"Mbak, Mbak makan dulu. Saya buatkan semangkok bakso untuk menghangatkan badan."

Wanita muda berdaster bunga-bunga mengangguk pelan. Di bibirnya mengucapkan kata terima kasih yang hampir tak terdengar. Ia mengambil duduk di kursi plastik yang dibawa si mamang bakso. Sedangkan  bayi perempuan dalam gendongannya sudah mulai tak nyaman.

"Mungkin dedeknya lapar, Mbak," ucap si mamang sambil meracik bakso.

"Iya, Mang. Mungkin saja." Wanita muda itu berdiri dan mulai menggerakkan tubuhnya, memberikan  ayunan kenyaman sejenak.

"Anak bayi biasanya senang diayun, Mbak," ucap mamang bakso lalu menoleh ke arah wanita yang sedang bergerak?mengayun menidurkan  bayinya, "tujuan Mbak mau ke mana?"

"Emm ... mau ke rumah paman di dekat pertigaan Kimaja, Mang."

"Wah, lumayan agak jauh, ya ... nggak minta jemput aja, Mbak? Sudah malam, lho, ini juga sudah mulai gerimis," ucap mamang bakso sembari melihat langit.

Malam semakin pekat. Langit sudah tertutup awan hitam. Titik-titik hujan sudah sejak tadi turun ke bumi, membasahi tanah yang semakin basah dan lembab.

Ada khawatir yang wanita itu rasakan. Ucapannya untuk berkunjung ke rumah paman hanya sebuah alasan. Ia tak tahu mau ke mana kakinya melangkah.

Ikatan rambutnya kini sudah tak rapi lagi. Beberapa terjatuh menutupi sebagian wajahnya. Dari kejauhan, matanya menangkap satu kendaraan roda empat yang ia hapal milik siapa. Bergegas ia menyembunyikan badannya, meringkuk di belakang gerobak bakso.

Akhirnya, ia menghela napas. Mobil berwarna silver itu melesat menjauh. Ia bisa menangkap ekspresi kemarahan dari jendela mobil yang terbuka. Ayah. Lelaki setengah baya yang sangat ia hormati itu pasti siap membunuhnya malam ini.

Air dari sepasang sudut matanya menetes. Andai ia bisa bersimpuh memohon ampun, akan ia lakukan saat ini. Namun, kekecewaan yang telah dibuatnya membuatnya tak punya lagi maaf untuk diberikan.

SERENADATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang