Bab 10

14 7 24
                                    

Nada berlari menuju kelas sambil melirik jam tangannya. Langkahnya semakin kencang saat tanpa sadar kakinya terantuk semen pembatas taman. Tubuhnya limbung dan kemudian terjatuh.

Ia teriak mengaduh. Untungnya tidak seorang pun yang melihat kejadian tersebut. Gegas ia bangkit dan mengibaskan rok dan kemeja yang sudah kotor karena tanah sambil memendarkan matanya siapa tahu ada yang melihat. Sakitnya, sih, enggak seberapa. Malunya yang luar biasa jika ada yang melihat.

Matanya kemudian terhenti pada seseorang yang ekspresinya tampak khawatir. Deg! Ketahuan. Buru-buru ia berjalan menuju kelas dengan jalan agak pincang, tetapi ia juga tak mungkin bisa berlama-lama karena pasti akan malu. Ditambah, ia lihat pria yang memergokinya jatuh tadi saat ini berlari ke arahnya. Nada berjalan lebih cepat agar pria itu tak menghampirinya.

"Selamat pagi, Bu." Nada berucap sambil meringis kesakitan.

Bu Ade memindai tubuhnya dari atas sampai ke bawah. Nada hanya menunduk sambil menahan sakit.

"Kamu baru jatuh?"

Nada mengangguk. Ia tahu konsekuensinya jika terlambat masuk sekolah. Ia bisa lolos dari pengamatan guru piket, tetapi tidak dengan Bu Ade, yang selalu datang tepat waktu.

Nada melirik sebentar ke arah teman-teman. Mereka sudah membuka buku LKS dan sepertinya sedang sibuk mengerjakan tugas yang sudah diberikan oleh Bu Ade. "Sial! Hampir setengah jam terlambat gara-gara kesiangan," rutuknya dalam hati.

"Seharusnya Ibu memintamu menemui guru piket. Ibu masih bertanya-tanya, bagaimana kamu bisa lolos dari sana, Nada?"

"Tadi guru piket sedang tidak ada di tempat, Bu." Nada menyampaikan dengan jujur.

"Lutut Nada berdarah, Bu!" seru Bayu.

Nada bisa merasakan ada yang menetes tetapi ia tak ingin melihatnya.

"Sisil, antar Nada ke UKS!" seru Bu Ade.

Sisil langsung bangkit dari tempat duduknya. Ia bergegas memapah Nada setelah minta izin pada Bu Ade.

Di UKS, suasana tampak kosong. Tidak ada petugas yang berjaga. Sisil segera menghampiri Bu Mei dan Bu Lisa yang sedang duduk mengobrol di meja piket.

"Ibu minta tolong panggilkan Sean di kelas XII IPA 2, ya, Sil. Sementara, dia yang bertugas selama Sus Eni tidak masuk, " ucap Bu Lisa.

Sisil segera menuju kelas XII IPA 2 yang lokasinya berada di samping kelasnya. Bersama Sean, Sisil menuju ruang UKS agak tergesa.

Nada agak kaget melihat Sean karena Sean tadi yang memergoki Nada jatuh di dekat taman. Malunya tak ketulungan. Bukannya apa-apa. Sean adalah siswa yang ia kagumi sejak kelas X. Namun saat itu perasaannya dihentikannya karena Ridho.

Melihat Nada meringis kesakitan, Sean segera mencuci tangannya dan mengambil betadine, kapas, dan kain kassa. Perlengkapan itu ia siapkan di meja dekat Nada duduk kesakitan. Tak lama, Sean kembali sudah dengan air panas yang ia letakkan di wadah alumunium steril.

Sean sangat cekatan menyiapkan  semua peralatan. Ia adalah ketua PMR sekolah. Kabarnya, ia sudah dipersiapkan menjadi dokter dan digadang akan menjadi salah satu pemilik rumah sakit swasta di Bandar Lampung mengingat ayahnya adalah satu-satunya pemegang saham tertinggi di sana.

"Tadi kenapa lari?" tanya Sean dingin.

"Enggak apa-apa," sahut Nada singkat. Sekarang, tak hanya sakit. Rasa sakit itu sudah dengan kombinasi getaran yang entah.

"Enggak apa-apa, kok, sampai berdarah begini?" ucap Sean khawatir sambil membersihkan luka Nada.

"Memang banyak, ya, darahnya?"

SERENADATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang