VI. Down

1K 77 12
                                    

Akhir-akhir ini, Jeno cepat sekali merasa lelah. Dan terkadang, itu membuat tubuhnya limbung. Wajahnya akan terlihat sangat pucat dan di kepalanya, terdengar suara seperti berdengung.

Jaemin sampai memberikan hari libur ekstra untuk Jeno beristirahat. Juga dirinya yang menjadi satu-satunya perawat bagi Jeno, seperti sekarang ini.

"Kau yakin tidak akan memberitahukan tentang ini ke Mark hyung, Jeno?"

Mendengar nama Mark, kedua mata sipit yang terpejam itu perlahan terbuka. Kepalanya berada di atas paha Jaemin dan lelaki manis itu tengah menempelkan handuk basah di kepalanya, sesuai keinginan Jeno.

"Tidak."

Jaemin tersenyum getir mendengar jawaban lelaki yang memiliki seluruh hatinya ini. Meskipun belum terikat dalam hubungab serius, Jaemin tahu Jeno mencintainya. Hanya saja, rahasia yang selama ini Jen tutup rapat akhirnya Jaemin ketahui. Dan ia pun, menutup rapat semuanya. Atas permintaan Jeno sendiri.

"Aku takut tidak bisa menjagamu lebih lama, Jaemin. Jadi biarkanlah seperti ini. Tempatmu tidak akan pernah di miliki orang lain, di hatiku."

Selalu seperti itu. Setiap kali muncul keraguan dalam benak Jaemin. Setiap kali ketakutan akan perasaan yang ia rasakan seorang diri, Jeno mampu menjawab semuanya. Meyakinkan dirinya.

Saat ini yang pasti, Jaemin akan berusaha untuk selalu ada di sisi Jeno. Menemani lelaki itu hingga sembuh, melawan kanker yang selama ini bersarang di kepalanya.

Yang selama ini membuat Jeno menjadi lebih diam dan tenang.

"Jaemin, terima kasih."

"Untuk?"

"Semuanya."

Jeno menatap Jaemin dari tempatnya, lelaki itu sangat manis. Hatinya juga sangat baik. Sungguh, Jeno merasa sangat amat beruntung memiliki Jaemin di sisinya.

"Maafkan aku jika nanti, tidak ada lagi yang merecoki hidupmu yang tenang." Jeno terkekeh kecil.

Jaemin sudah hampir menangis. "Jangan bicara yang tidak-tidak, kau lapar?"

"Maafkan aku karena kau terjebak di situasi seperti ini, Jaemin. Kau seharusnya berada bersama orang yang tepat."

Tidak. Hanya Jeno yang tepat, Jaemin menutup mulut Jeno dengan satu tangannya. Air matanya sudah luruh dari sudut mata, Jaemin tidak mau mendengar apapun lagi.

"Kau pasti sembuh, Jeno. Aku pasti akan menemanimu sampai sembuh. Besok kita ke rumah sakit, oke?"

Jeno hanya tersenyum, lewat matanya. Tangannya menggenggam tangan Jaemin, erat. Sebelum ia kembali memejamkan matanya, mencoba untuk tidur ketika dengungan di dalam kepalanya kembali terdengar.

Keesokan harinya, Jeno bangun lebih awal dengan tubuh yang lebih bugar. Sepertinya obat-obatan itu telah bekerja.

Ia melihat Jaemin yang masih terlelap, memberikan satu kecupan ringan di dahinya sebelum beranjak turun dari kasur dan menuju kamar mandi. Ia harus bekerja hari ini.

Setelah selesai, ia tidak mendapati Jaemin di kamar. Namun kemudian wangi masakan yang sampai ke kamar, membuat dia tau Jaemin ada di mana.

"Selamat pagi Jeno!"

Baru saja Jeno hendak berucap, sudah di dului oleh Jaemin. Ia hanya tersenyum dan balas menyapa Jaemin.

"Selamat pagi Nana, masak apa?"

"Buat pancake saja kok. Jeno pasti mau kerja, kan?"

Tangannya meraih gelas berisi teh hangat yang sudah pasti Jaemin buatkan untuknya. "Iya, boleh kan?"

"Kalau ku larang pasti Jeno tetap memaksa. Tentu saja boleh!"

"Nanti cafe-mu bangkrut kalau aku banyak libur."

"Cari saja karyawan lain."

Jeno terkekeh. Anak itu, benar-benar.

"Jeno!"

Pemilik nama pun menoleh, di sana ada Mark yang tengah menghampirinya.

"Oh, hyung. Sudah pulang kerja?"

"Iya, kebetulan lewat sini dan ku lihat kau ada. Jadi aku mampir."

Jeno mengangguk. "Mau kopi?"

"Boleh." Mark menatap Jeno, ragu. "Aku ingin bicara sesuatu."

"Duduk dulu saja, hyung. Aku buatkan dulu kopinya."

Mark kemudian berlalu, mencari tempat duduk yang kosong sebab cafe milik Jaemin ini, lumayan ramai. Katanya, apalagi semenjak Jeno bekerja di sini.

"Ini, hyung." Jeno datang dan langsung menempatkan diri untuk duduk di dekat Mark.

"Terima kasih, Jeno."

Jeno tersenyum. Membiarkan Mark menyesap kopinya lebih dulu.

"Mau bicara apa, hyung?"

"Jeno, kau sakit?"

Bukannya menjawab, Mark justru melempar tanya.

"Tidak, hanya sedikit tidak enak badan. Tapi Jaemin sudah merawatku hyung."

"Tapi kau sampai tidak masuk kerja 5 hari. Benar hanya tidak enak badan?"

Jeno menatap Mark dengan wajah yang di buat setenang mungkin.

"Tentu saja. Sebenarnya aku sudah sehat dari kemarin, tapi Jaemin yang memaksa untuk terus istirahat jadi—"

"Kau menjauhiku, Jeno?"

Kedua alisnya bertaut, apa maksud perkataan Mark?

"Kalau hanya tidak enak badan, kenapa harus sampai menginap di rumah Jaemin? Aku bisa merawatmu. Aku punya banyak waktu seperti saat ini. Bukannya dulu kau selalu ingin aku bersamamu saat kau sakit?"

Jeno tertegun. Kenapa Mark tiba-tiba mempermasalahkan ini. "Karena orang tua Jaemin tidak ada di rumah, dan anak itu memaksaku menginap."

"Bohong. Kau pintar sekali berbohong Jeno ssi."

Pandangannya beralih, menatap lurus ke sepasang mata yang lebih tua. Jelas terlihat kilat amarah di sana, tertahan.

"Bilang saja jika kau memang sudah tidak mau tinggal denganku atau mau menjauhiku. Tidak masalah. Aku juga tidak akan memaksa seseorang untuk tinggal."

"Hyung—"

"Lagipula, dari awal kau memang terpaksa tinggal bersamaku kan? Tidak masalah Jeno, Jaemin memang lebih penting. Aku tahu."

"Tapi hyung—"

"Urus saja urusanmu sendiri setelah ini. Tidak perlu kau memikirkan bagianku. Kita memang sudah seharusnya memilih jalan kita sendiri. Selamat tinggal."

Mark berlalu, setelah meninggalkan satu lembar won dan Jeno yang masih tetap diam. Tak jauh dari sana, Jaemin menatap Jeno dengan hati yang sama sakitnya.

Terlebih, Jeno menangis. Lelaki itu jarang dan hampir sama sekali tidak terlihat mudah untuk menangis. Bahkan ketika dirinya telah mendengar perkataan dokter mengenai waktu hidupnya yang hanya tinggal sedikit.

Jeno begitu menyayangi Mark.

“Maafkan aku, Mark hyung.”

— bersambung.

Promise.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang